Mengawasi Pemerintah dalam Swasembada Minyak

Sama seperti Ahok yang sekarang dicurigai akan menguasai Indonesia bersama orang-orang Cina, Jokowi juga pernah dicurigai akan mengutamakan pihak asing di atas kepentingan bangsa. Keduanya dicurigai saat mereka sedang dalam masa kampanye pemilihan Gubernur DKI dan presiden. Apakah betul demikian? Bisa jadi. Namun dalam tulisan saya 3 tahun yang lalu, saya pernah mengatakan, jika kita merasa Jokowi tidak bisa membela kepentingan bangsa di atas kepentingan asing, maka kita akan dapat dengan lantang tanpa rasa takut untuk mengkritisinya. Dan hal tersebut telah kita lakukan dalam 3 tahun terakhir setelah kemenangan Jokowi di pilpres 2014: kita terus mengkritisinya.

Mengkritisi harus dilakukan oleh warga sebuah bangsa untuk terus menjaga kinerja pemerintahnya. Namun untuk dapat mengkritisi pemerintah, kita harus memulainya dari memberi kepercayaan, memiliki kemampuan memahami masalah, rajin mengamati kinerja pemerintah, dan mendukung atau menolaknya. Dengan demikian, kita dapat berlaku adil. Kita jadi tahu mana keputusan pemerintah yang harus kita apresiasi dan dukung, dan mana keputusan pemerintah yang harus kita tolak dan pertanyakan.

Sensi tapi Butuh

Keputusan pemerintah yang berhubungan dengan pihak asing adalah keputusan yang sangat sensitif bagi bangsa ini. Terlalu lamanya kita dijajah pihak asing membuat kita selalu ketakutan dan penuh curiga. Bagi saya, ini adalah sikap yang baik untuk bangsa agar kita tidak mudah dijajah kembali. Namun kecurigaan dan sikap negatif tanpa memiliki kemauan dan kemampuan memahami masalah dapat berujung negatif untuk diri sendiri.

Seperti contohnya keputusan pemerintah mengimpor bahan bakar minyak dari Singapura dan Malaysia. Bahkan kita sudah sangat amat tergantung dengan mereka. Dalam satu tahun, kita membutuhkan kurang lebih 72 juta liter BBM, padahal Pertamina hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 39 juta liter BBM. Tak ada jalan lain, kita harus mengimpor bahan bakar. Kalau tidak impor, bagaimana kita bisa hidup? Di sisi lain banyak yang berkoar anti asing, di sisi lain butuh impor dari mereka. Gimana dong?

Sensi tapi Butuh dan Boros lalu Marah-marah :|

Kita sensi dengan keputusan pemerintah yang terus mengimpor. Padahal keputusan itu yang paling masuk akal untuk memenuhi kebutuhan kita. Tak hanya butuh, tapi kita juga boros menggunakannya. Tak mau menggunakan kendaraan umum, memilih bepergian dengan kendaraan pribadi. Bahkan satu keluarga memiliki kendaraan masing-masing. Kita ini sensi tapi butuh dan boros. Kemudian saat subsidi BBM dikurangi, kita pun marah-marah protes ke pemerintah. 

Masyarakat marah dan protes kepada keputusan pemerintah itu harus, namun harus diimbangi dengan kemampuan memahami masalahnya. Jika hanya marah tapi di sisi lain tak memahami masalah dan justru turut menciptakan masalah, ini bukan sikap yang adil. Bukan pula sikap yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa.

Solusi dari Pemerintah

Jokowi ingin melepaskan Indonesia dari ketergantungan BBM dengan pihak asing, atau dengan seksinya mereka sebut swasembada bahan bakar minyak untuk mewujudkan nawacita. Memang hal ini terdengar baik untuk bangsa dan kita harus percaya niat baik mereka. Namun walaupun kita percaya, kita tetap harus memahami dan mengamatinya.

Indonesia memiliki PT Pertamina dalam mengoperasikan kilang minyak di Indonesia. Sebenarnya mereka memiliki 7 kilang minyak namun karena alasan ekonomis, satu kilang tidak dioperasikan lagi. Sehingga saat ini hanya memiliki 6 kilang minyak. Kapasitas produksi keenam kilang minyak itu 1.05 juta barel per hari. Namun pada pelaksanaannya, dari keenamnya hanya dapat menghasilkan 800-950 ribu barel per hari.

Tentu saja angka tersebut tidak cukup bagi bangsa yang boros BBM ini. Sehingga kita butuh mengimpor dari negara asing. Ini menyebabkan rasio ketergantungan kita akan import dari tahun ke tahun meningkat antara 33-44% dan menguras devisa negara. Mau nggak mau kita butuh pihak asing. :|

Kemudian pemerintah mengeluarkan solusi melalui Pertamina dengan melakukan 2 hal. Pertama proyek pengembangan kilang minyak yang sudah ada dan kedua proyek pembangunan kilang minyak baru yaitu New Grass Root Refinery (NGRR) di Tuban dan Bontang. Kedua proyek akan membutuhkan dana sekitar 500 triliun rupiah dan selesai dalam waktu 7 tahun (yaitu di tahun 2023). Jika pembangunan ini sukses, maka diperkirakan kapasitas produksi kilang minyak yang dioperasikan Pertamina menjadi 2.2 juta barel per hari, dari yang tadinya hanya 1.05 juta barel per hari.

Mengkritisi Solusi Pemerintah

Solusi pemerintah ini terdengar hebat dan menjanjikan, namun kita harus terus mengamatinya dan mengkritisinya. Pertama, dana yang dikeluarkan. Apapun pengeluaran pemerintah, walaupun hanya untuk membeli secarik kertas, harus selalu kita awasi. Karena itu uang milik kita semua, maka menjadi hak kita untuk ikut campur. Apalagi jika ini adalah mega proyek senilai 500 triliun rupiah dan dilaksanakan oleh banyak pihak. Kita harus menagih transparansinya dan membandingan wujudnya dengan dana yang telah kita keluarkan.

Kedua, adanya pihak lain selain Pertamina dalam melaksanakan mega proyek ini. Dalam berita di Detik ini, disebutkan bahwa Pertamina juga bekerja sama dengan perusahaan minyak dan gas yang sudah memiliki reputasi internasional. Tapi siapa? Kita tahu banyak perusahaan asing maupun dalam negeri yang memiliki reputasi baik dalam berbisnis, namun sebenarnya memiliki reputasi buruk dalam bekerja sama. Jadi masyarakat harus tahu dengan siapa saja pemerintah dan Pertamina bekerja sama.

Percaya Pemerintah Indonesia dan Pertamina

Saya percaya dan ingin masyarakat menaruh kepercayaan tinggi kepada pemerintah Indonesia maupun Pertamina, bahwa mereka akan melakukan pembangunan mega proyek ini dengan bersih dan niat baik untuk bangsa. Agar kebutuhan masyarakat jadi tercukupi, dengan biaya yang lebih ekonomis, dan tak lagi tergantung pihak asing.

Semoga kepercayaan dan upaya kami dalam mengamati kinerja pemerintah menjadi bahan bakar untuk mereka dalam menjalankan tugasnya yang mulia.

Mas Pandji, Ini Tidak Gampang

Notifikasi Path saya hari ini menyajikan Blast from the past alias foto-foto yang saya post pada masa lalu. Salah satu foto membuat saya kangen berat: berdiri di sebelah Mas Pandji Pragiwaksono, berdua tersenyum lebar, memiliki pandangan dan posisi politik yang sama. Di postingan itu dengan bangganya saya menulis,

Semua orang dicium tangannya kalo salaman sama Mas Pandji. Bikin geli. Dulu habis makan bareng kru Provocative Proactive, kita dianterin pulang ke rumah masing-masing. Dia juga selalu mengingatkan anak muda untuk nggak lupa sejarah, nggak buta politik. Kalo ngomong jelas, logis, pede, lucu, to the point, dan yang terpenting cerdas. It's my pleasure to know him. One of the best Indonesians!

Benar-benar tepat 3 tahun yang lalu saya post foto itu. Namun saya tidak menyangka 3 tahun kemudian saya menulis artikel yang berseberangan dengan Mas Pandji ini. Tentu saja saya tidak menginginkan semua orang memiliki pandangan politik yang sama dengan saya. Bangsa ini tidak akan maju jika hanya memiliki satu suara saja. Namun saat seseorang memiliki pandangan politik yang bertolak belakang dari pandangannya sebelumnya, ini yang sangat menggelisahkan saya.

Dahulu bersama-sama kami berada di posisi melawan Prabowo dan kelompok radikal seperti FPI agar tidak menguasai negri ini. Namun hari ini Mas Pandji berada di deretan mereka. Ini sama mengejutkannya jika misalkan Jonru tiba-tiba berada deretan kelompok nasionalis. Sama-sama akan mengecewakan teman-temannya. Sekali lagi, mengecewakan bukan karena berbeda, tetapi karena begitu bertolak belakang dari sebelumnya.

Banyak orang yang mengatakan Mas Pandji melakukan ini semua untuk uang. Saya tidak pernah bisa mempercayainya. Saya tidak percaya Mas Pandji semurahan itu. Namun saya masih tidak paham dan masih ingin berusaha paham: kenapa Mas Pandji berada di sana bersama Prabowo dan FPI?

Bukan kah mereka adalah kelompok yang tidak dapat ditolerir lagi? Saya tahu orang yang salah tidak selalu harus dimusuhi. Tapi juga bukan berarti merangkulnya, membuat mereka semakin besar kepala dan berjaya. Apakah bijak jika kita merangkul kelompok intoleran tanpa bersikap tegas kepada mereka? Apakah bijak berada di satu kubu dengan mereka dan memberikan jalan kepada mereka untuk menguasai negri ini?

Sulit untuk mempercayai Anies merangkul Prabowo dan FPI untuk mempersatukan bangsa, karena itu semua ia lakukan sebelum menjadi pemimpin. Bahkan sekali lagi, tanpa membuat pernyataan tegas bahwa ia tidak menolerir perbuatan mereka. Anies pun tidak terlihat merangkul kelompok lainnya, terutama minoritas. Maka salah kah saya jika berfikir sikap Anies merangkul mereka bukan untuk mempersatukan tetapi hanya untuk mendapatkan dukungan? Salah kah saya kecewa dengan sikap seorang Mas Pandji yang menolerir ini semua?

Apalagi saat saya membaca artikel Mas Pandji yang ini. Saya sangat resah. Dimana Mas Pandji yang saya kenal logis, lucu, to the point, dan cerdas? Dimana Mas Pandji yang selalu mengingatkan anak muda untuk nggak lupa sejarah, nggak buta politik? Kami semua disini sangat sedih, Mas. Kami semua kangen kamu. Tapi saya akan lebih sedih lagi kalau tidak memiliki kesempatan menjawab artikelmu. Semoga kita tidak bermusuhan setelah ini. Karena saya yakin dirimu bukan orang yang akan memusuhiku walau kita berseberangan.

Mari Bicara Anti Korupsi

Saya kaget membaca tulisan Mas Pandji itu. Terutama di bagian siapa saja yang mendukung Anies Baswedan dalam Pilkada DKI 2017 ini. Padahal saya yakin Mas Pandji tahu betul dengan istilah logical fallacy. Logical fallacy adalah sesat logika atau kecacatan dalam bernalar.

Mas Pandji mengatakan ada 4 orang mantan pimpinan KPK yang mendukung Anies dan tak ada satu pun yang mendukung Ahok. Lalu Mas Pandji memberikan kami pertanyaan “kritis yang sederhana”: Kalau memang Pak Basuki bersih dari korupsi, kenapa tidak ada satu pun mantan pimpinan KPK yang secara terbuka mendukung beliau?

Mas Pandji pasti pernah mendengar istilah logical fallacy tipe argumentum ad populum, yaitu sebuah sesat logika yang berfikir bahwa sebuah pendapat atau tindakan akan benar jika banyak yang menyakininya atau mendukungnya. Ya tentu saja sesat karena ini membuat orang yang sebenarnya tak bersalah menjadi diputuskan bersalah hanya karena kebanyakan orang menyebutnya salah. Atau membuat orang yang bersalah menjadi benar hanya karena kebanyakan orang mendukungnya.

Padahal ini bukan sebuah sidang dengan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini hanya sebuah pendapat atau tindakan yang dinilai sekelompok orang saja. Salah atau tidaknya seharusnya tidak bisa kita nilai hanya berdasarkan banyak-banyakan. Salah atau tidaknya hanya bisa kita nilai berdasarkan bukti dan saksi yang telah disumpah. Apa jadinya jika sesat logika seperti itu terus dipelihara? Orang seperti saya akan dibunuh jika berada di tengah para umat ekstrimis. Mereka merasa darah saya halal dan mereka merasa tindakan mereka benar karena banyak yang setuju saya dibunuh. Seram kan?

Jadi seharusnya kita bertanya: apakah jika Anies didukung 4 orang mantan pimpinan KPK membuatnya bersih? Apakah jika tidak ada yang mendukung Ahok membuatnya kotor? Tentu saja jawaban untuk keduanya adalah tidak. Bersih atau tidaknya seseorang tidak bisa dinilai dari banyaknya orang menghakiminya.

Mari Bicara Keteladanan

Saya lebih menghormati mereka yang berbicara kasar tapi untuk membela kebenaran daripada mereka yang berbicara santun tapi untuk merangkul yang salah. Lebih baik memaki-maki penjahat daripada berbicara halus tetapi mendukung kelompok intoleran. Ini yang terjadi pada Ahok dan Anies.

Ahok memang berkata kasar dan terkadang saya sendiri pun tidak tega melihat saat ia mendaprat seseorang habis-habisan. Tapi mari kita melihat sesuatu lebih dalam lagi, kepada siapa ia marah-marah? Tak satu pun saya pernah melihat ia marah-marah kepada mereka yang benar. Ia selalu marah-marah kepada mereka yang terbukti bersalah, apalagi mereka yang bersalah dalam bekerja melayani rakyat.

Mas Pandji bertanya, apakah kita boleh maki-maki orang hanya karena kita benar? Untuk menjawab itu, kita harus tahu apa dulu masalahnya? Jika hanya karena seseorang melakukan sesuatu kesalahan yang tidak disengaja, tentu tidak baik jika kita memakinya. Tetapi jika seseorang melakukan kesalahan dengan sengaja apalagi merugikan banyak orang, tentu saja orang itu layak untuk kita maki. Itu lah yang dilakukan Ahok. Ia tidak asal memaki semua orang karena dirinya merasa benar. Ia hanya memaki orang yang terbukti bersalah merugikan rakyat.

Apakah Ahok teladan yang baik? Tentu saja. Bangsa ini sudah lama dilanda rasa takut untuk bersuara, apalagi untuk melawan yang salah. Adanya tokoh-tokoh pemberani membuat kita bersemangat untuk tidak tinggal diam jika melihat ketidakadilan. Begitu senangya kita melihat Jokowi, Risma, Ganjar, maupun Ahok memarahi dan menindak para oknum yang jahat. Begitu bahagianya kita saat ada polisi yang dengan tegas tanpa rasa takut melawan kelompok radikal. Kita membutuhkan tokoh-tokoh yang dapat menunjukkan bahwa keberanian adalah bensin membela kebenaran. Tanpa keberanian kita tidak bisa melawan ketidakadilan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang membuat kita malu jika memilih tinggal diam karena takut melawan yang salah. Itulah yang disebut teladan.

Sementara Anies, ia memang sangat santun dalam berbicara. Tapi apakah isinya baik? Dahulu ia selalu membuat saya terharu dan bersemangat dari ucapannya. Saya ingat saat ia berpidato di UGM mengenai Indonesia Mengajar tahun 2013. Saat itu ia membuat saya bersemangat untuk berkontribusi lebih banyak lagi untuk negri ini. Saya juga ingat saat ia membela Jokowi di Mata Najwa tahun 2014. Saat itu Anies membuat saya semakin percaya diri melawan ketidakadilan Orde Baru karena dengan beraninya ia menyatakan sikap melawan Prabowo. Padahal saat itu tak satu pun tokoh besar berani melakukannya. Keduanya sangat inspiratif, karena cara berbicara maupun isinya baik untuk bangsa ini.

Hari ini Anies masih santun dalam berbicara. Ketawanya pun sangat halus dan sopan. Tapi bukan kah menilai seseorang tidak hanya dari penampilan namun juga isinya? Jadi bagaimana isi Anies? Mengecewakan. Lagi-lagi bak Jonru tiba-tiba jadi nasionalis, Anies tiba-tiba berpendapat yang bertolak belakang dengan pendapatnya dahulu. Tak hanya itu, ucapannya pun tak sesantun cara berbicaranya. Seperti saat ia bertamu di markas FPI Petamburan.

Seperti yang selalu Mas Pandji katakan, Anies adalah figur pemersatu bangsa. Tapi sekali lagi saya tanya, apakah merangkul kelompok intoleran tanpa bersikap tegas terhadap mereka adalah sikap mempersatukan? Jika ingin mempersatukan, dimana sikap Anies terhadap kelompok minoritas seperti umat nasrani atau keturunan Chinese?

Figur pemersatu juga seharusnya berkata yang adil kepada rakyatnya. Saya akan setuju Anies disebut figur pemersatu jika apa yang ia ucapkan dalam pertemuannya dengan FPI berbunyi,

Wahai Habib Rizieq dan kawan-kawan, Anda semua adalah saudaraku. Tapi Anda harus tahu bahwa umat agama lain juga saudaraku. Kalian memiliki hak yang sama dengan mereka dalam beribadah dan berpolitik. Maka hormatilah mereka dan saya juga akan memastikan mereka menghormatimu. Wahai Habib Rizieq, pastikan umatmu berlaku adil di negri ini. Saya akan berada di barisan terdepan jika Anda diperlakukan tidak adil. Namun saya lah yang akan pertama menindak Anda jika Anda bertindak melawan hukum.

Namun sayangnya tidak. Di depan FPI, Anies tidak mengajak FPI untuk berlaku adil dan menjaga persatuan. Justru pujian-pujian terhadap keturunan Arab lah yang ia katakan. Bukan kah itu akan membuat kelompok radikal seperti FPI semakin merasa benar untuk berlaku tidak adil terhadap ras dan agama lain? Tak hanya itu, isi pidato Anies mengenai sejarah keturunan Arab di Indonesia pun banyak yang luput tidak sesuai kenyataan sejarah. Seperti yang ditulis Mas Zen RS disini. Ya, hari itu ia menyebarkan sejarah yang salah dan membuat kaum radikal di Indonesia semakin besar kepala. Maka layak kah jika Anies disebut teladan yang baik? Layak kah disebut figur pemersatu?

Tadinya saya memang lebih menghormati mereka yang berbicara kasar tapi untuk membela kebenaran daripada mereka yang berbicara santun tapi untuk merangkul yang salah. Namun Ahok pernah berkata, “keduanya tidak ada yang lebih baik.” Jadi ia akan berusaha berubah agar lebih baik lagi. Sehingga nantinya ia tak hanya membela kebenaran namun juga santun dalam berucap.

Mari Bicara Kebijakan Reklamasi

Dalam tulisan Mas Pandji, ada link yang menulis mengenai Kronologi Reklamasi Teluk Jakarta. Dalam kronologi tersebut disebutkan bagaimana berbagai peraturan bermunculan sampai akhirnya diteruskan oleh Ahok. Mas Pandji tau bagaimana selama ini saya selalu berusaha melawan penyiksaan terhadap binatang dan perusakan lingkungan. Namun bagaimana posisi saya menanggapi reklamasi yang akan merusak lingkungan hidup daerah Jakarta Utara tersebut?

Pertama, reklamasi jelas merusak lingkungan, tapi apa yang bisa kita lakukan melawan keputusan presiden? Satu yang perlu selalu kita ingat: bukan Ahok yang memulai rencana ini, tetapi Soeharto dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Sejak 1995 hingga sekarang rencana reklamasi ini terus bergulir. Ada nama SBY, Sutiyoso dan Fauzi Bowo ikut terlibat dalam perjalanan izin reklamasi, sampai akhirnya berada di tangan Ahok.

Mas Pandji berargumen seakan semua pengembang itu ada setelah Ahok menjabat. Padahal pengembang itu ada sejak zaman gubernur sebelumnya. Mas Pandji menyebutkan, pulau A,B, C, D, dan E adalah milik PT. Kapuk Naga Indah, satu grup dengan Agung Sedayu. Ya memang benar. Tapi sekali lagi mereka ada bukan sejak Ahok. Dalam link yang Mas Pandji share, nama PT Kapuk Naga Indah dalam reklamasi sudah ada sejak Fauzi Bowo menjabat tahun 2010. Jadi mari bersikap adil dengan tidak menujuk Ahok sebagai biang keladi yang berpihak kepada pengembang.

Selain itu, disebutkan bahwa reklamasi memang menjadi wewenang Gubernur DKI. Tapi sampai dimanakah wewenangnya? Apakah Gubernur DKI berwewenang untuk menghentikannya secara permanen? Apakah seorang gubernur dapat melawan surat keputusan presiden? Reklamasi memang menjadi wewenang Gubernur DKI namun bukan kah hanya sampai pada urusan perizinan, bukan penghentian proyek?

Seperti kata Mas Pandji, baca baik-baik di tanggal 12 Desember 2013 sampai 23 Dessember 2014. Saya setuju, mari kita baca dengan baik-baik. Karena jika tidak, kita akan dengan mudah menyangka Jokowi tidak memperpanjang izin reklamasi dan menghentikannya, sementara Ahok memperpanjang izin reklamasi dan memulai bencana. Padahal dalam artikel itu, ada suatu link berita menyebutkan alasan Jokowi tidak memperpanjang reklamasi.

Kompas: Dia (Jokowi) ingin melakukan kajian mendalam terlebih dahulu soal megaproyek itu. Sebab, di atas pulau buatan itu, rencananya akan ada 500.000 tenaga kerja, 1 miliar meter kubik air bersih, serta sejumlah infrastruktur seperti bandar udara dan pelabuhan yang baru. Artinya, ia ingin proyek berpihak kepada rakyat, bukan developer. "Karena Pemprov DKI juga mau investasi di sana, sebagian itu akan jadi milik kita sehingga sedang kita kaji dulu semua," ujarnya (Jokowi).

Jokowi menyebutkan bahwa Pemprov DKI akan berinvestasi disana dan sebagian akan jadi milik kita. Akan? Berarti bagi Jokowi, reklamasi memang akan tetap terlaksana? Bahkan Jokowi menyebutkan rencananaya akan ada ribuan tenaga kerja dan infrastruktur. Rencananya? Ya memang reklamasi ini sudah direncanakan akan terus berlanjut. Tetapi perlu dikaji ulang sehingga untuk sementara izinnya tidak diperpanjang. Jika sudah dikaji, maka reklamasi berlanjut. Asalkan satu: hasil kajian berpihak kepada rakyat, bukan developer.

Nah sekarang, kepada siapakah Pemprov DKI berpihak? Kepada siapakah Ahok berpihak? Dalam artikel kronologi tersebut juga menyertakan link keputusan Ahok dalam reklamasi tahun 2014. Kita semua dapat membaca, dalam keputusan itu Gubernur DKI meminta kewajiban dan kontribusi pengembang sebagai berikut:

Kewajiban

  1. Menyediakan prasarana, sarana dan utilitas dasar yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan Pantura antara lain jaringan jalan baik dalam maupun antar pulau, angkutan umum massal, jaringan utilitas, infrastruktur pengendali banjir, Ruang Terbuka Biru, Ruang Terbuka Hijau, dan sempadan pantai, serta sarana pengelolaan limbah cair dan padat
  2. Pengerukan sedimentasi sungai sekitar pulau reklamasi.

Kontribusi

  1. Memberikan kontribusi berupa pengerukan sedimentasi sungai di daratan
  2. Memberikan kontribusi lahan seluas 5% (lima persen) dari total luas lahan areal reklamasi nett yang tidak termasuk peruntukan fasos/fasum untuk diserahkan kepada Pemerintah Provinsi OKI Jakarta.

Dan ada tambahan kontribusi untuk revitalisasi Kawasan Utara Jakarta berupa penyediaan rumah susun, penataan kawasan, peningkatan dan pembangunan jalan, pembangunan infrastruktur banjir termasuk pompa dan rumah pompa, waduk, saluran dan pembangunan tanggul Program NCICD Tahap A, yang besarannya sesuai nilai yang akan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Jika sudah membaca keputusan izin reklamasi oleh Ahok di atas, sekali lagi saya tanyakan, kepada siapakah ia berpihak? Pengembang atau DKI Jakarta? Karena tak dapat menghentikan reklamasi, maka Jokowi dan Ahok berinisiatif untuk membuat reklamasi itu berpihak kepada negara, kepada rakyat. Dengan membebankan pengembang dengan berbagai kewajiban dan kontribusi yang bermanfaat untuk DKI Jakarta.

Namun jika memang Anies dan Mas Pandji tidak setuju dengan reklamasi, seharusnya apa yang dilakukan seorang gubernur DKI terhadap keputusan presiden itu? Bagaimana cara menghentikannya? Pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan Ahok dalam debat terakhir, namun sayang, Anies tak menjawabnya.

Mari Bicara Penggusuran

Mas Pandji menyebutkan mengenai sidang penggusuran Bukit Duri yang dimenangkan warganya. Lagi-lagi argumen Mas Pandji menyiratkan Ahok bersalah. Dalam hal ini bersalah dalam mengambil lahan tanah milik warga Bukit Duri. Padahal ada dua hal yang harus diluruskan. Pertama, penggusuran atau normalisasi Kali Ciliwung di daerah Bukit Duri adalah proyek Pemerintah Pusat. Bukan proyek Pemprov DKI, bukan proyek Ahok. Posisi Pemprov DKI disini hanya sebagai pelaksana.

Kedua, sidang yang Mas Pandji sebutkan adalah sidang PTUN, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara. Tak banyak yang tahu bahwa PTUN itu berbeda dengan Pengadilan Negri. Sesuai dengan namanya, sidang PTUN berarti sidang terkait prosedur atau administrasi. Dalam pelaksanaan penggusuran warga di Bukit Duri, Satpol PP melakukan kekeliruan yang kemudian dituntut warga dan dikabulkan PTUN. Jika warga Bukit Duri memenangkan sidang PTUN, maka mereka menang dalam hal prosedur penggusuran, bukan dalam hal hak tanah. Maka dari itu Pemprov DKI masih melanjutkan penggusurannya. Bahkan putusan PTUN itu pun belum berkekuatan hukum tetap sehingga Pemprov DKI belum tentu bersalah.

Saya jadi penasaran, kenapa penggusuran selalu dianggap tidak adil? Jika prosedurnya merugikan dan terjadi kekerasan, saya setuju itu tidak adil. Tetapi jika memang warga menempati tanah ilegal, bukan kah tidak adil jika membiarkannya?

Beberapa bulan lalu saya berkesempatan ke daerah bekas pasar ikan, depan Museum Bahari. Daerah di depan museum itu sudah rata dengan tanah. Tidak seperti sebelumnya yang penuh bangunan kumuh. Sekarang hanya penuh sisa-sisa sampah berserakan. Saat itu lah saya baru tahu bahwa para mantan penghuni rumah kumuh disana sebenarnya membangun rumahnya bukan di atas tanah melainkan di atas sampah. Daratan tempat mereka tinggal sebenarnya sebuah sungai yang luas. Namun zaman dahulu para warga menguruknya dengan sampah lalu menempatinya untuk tempat tinggal dan pasar. Jadi mereka tidak hanya tinggal di tanah ilegal, tapi bahkan literally mereka tidak tinggal di atas tanah. Lalu kenapa bertahun-tahun pemerintah membiarkannya? Bahkan memberikan mereka surat tanah legal, aliran listrik, dan ledeng? Bukan kah ini menyalahi aturan dan patut untuk diadili?

Saya justru melihat keputusan pemerintah memberikan rusun kepada mereka yang dahulu menempati tanah ilegal adalah keputusan yang tidak adil. Bayangkan dahulu kala ada 2 orang yang tidak memiliki uang untuk membeli tanah. Satu orang (si A) memilih membangun bangunan liar di tanah ilegal, namun satu lagi (si B) memilih untuk idealis dengan pulang ke daerah asalnya untuk menaati peraturan. Setelah bertahun-tahun, si A justru dipindahkan ke rusun yang layak dan mendapatkan sewa murah, sementara si B gigit jari iri dan berfikir, "kenapa dahulu aku tidak menyalahi aturan saja dan bisa mendapatkan rusun sewa murah?" Ini seperti memberikan reward kepada mereka yang salah dan membuat mereka yang menaati peraturan menyesali keputusan baiknya. Namun saya paham, pemerintah tak mungkin menggusur warganya tanpa memberikan alternatif tempat tinggal sehingga pemberian rusun pun harus dilakukan.

Dengan melihat masalah ini dengan lebih luas, menurut Mas Pandji, apa yang seharusnya dilakukan seorang gubernur melihat banyak warganya tinggal di atas tanah ilegal? Program apa yang akan dilakukan Anies untuk memperbaiki tata kota, menanggulangi banjir, dan meningkatkan hajat hidup warganya secara bersamaan?

Mari Bicara Program Anies

Mas Pandji menjelaskan dengan detail dan mudah dipahami mengenai program kerja Anies dalam bidang tempat tinggal, pendidikan, dan wirausaha. Sayangnya itu semua tidak dijelaskan dengan detail dan mudah dipahami oleh Anies sendiri. Berkali-kali kami bertanya, ya Bapak akan melakukan perubahan tapi bagaimana caranya, Pak? Tapi saya tak pernah mendapatkan jawabannya. Seperti kami tak mendapatkan jawaban mengenai apa yang akan Anies lakukan terkait reklamasi dan penggusuran.

Selain itu, butuh kehati-hatian dalam memahami program kerja Anies. DP 0 Rupiah untuk kredit murah bagi warga Jakarta misalnya. Pertama, mungkin banyak yang mengira kata “rumah” berarti rumah satu atap. Namun dalam program ini, yang dimaksud “rumah” adalah “rumah susun” sederhana subsidi pemerintah dengan harga sekitar Rp350 juta. Kedua, warga diharuskan menabung 2,3 juta per bulan selama 6 bulan terlebih dahulu agar bisa ikut dalam program ini. Kemudian warga harus mencicil Rp2,3 juta per bulannya selama 20 tahun. Sewa Rusunawa yang hanya Rp300 ribu per bulan saja banyak warga yang menunggak. Bagaimana jika harus membayar cicilan sebesar Rp2,3 juta per bulan selama 20 tahun? Ketiga, jika di tengah jalan warga tak mampu membayar cicilan, apa yang akan dilakukan Anies? Masak iya menggusurnya? Keempat, warga harus bisa memiliki uang sebesar Rp13,8 juta dalam 6 bulan untuk kemudian mulai mencicil rumah susun tersebut selama 20 tahun. Lalu apa bedanya Rp13,8 juta itu dengan DP?

Mas Pandji juga mengatakan “Anies yang paling tau tentang pendidikan”. Tapi kata siapa? Karena jika memang ia paling tau, kenapa justru dia diberhentikan dari kursi Menteri Pendidikan? Apakah karena politik sehingga orang bersih tidak bisa bertahan di kursi jabatan? Lalu kenapa Ibu Susi dan Ibu Sri yang terkenal bersih dan pekerja keras masih ada di kursi menteri? Kenapa Anies dan Sudirman Said diberhentikan?

Lagi-lagi Mas Pandji juga membuat argumen dengan memberikan informasi yang salah dan menuntun para pembacanya untuk menghakimi bahwa Ahok melakukan kesalahan. Seperti saat Mas Pandji memberikan link ini: keluhan Pak Basuki mengenai KJP yang sering disalah gunakan. Dalam artikel itu Ahok mengeluhkan soal banyaknya dana pendidikan yang disalahgunakan warga untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti karaoke. Namun artikel tersebut adalah artikel tahun 2015. Sudah dua tahun yang lalu. Bagaimana Pemprov DKI di bawah kekuasaan Ahok menyiasatinya tahun ini? KJP tidak boleh lagi ada yang tunai. Semua harus non-tunai sehingga warga tak memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya. Jadi apa yang diresahkan Mas Pandji sebenarnya sudah dibereskan Ahok.

Sementara apa solusi Anies dalam masalah penyalahgunaan dana pendidikan ini? Anies akan membagi periode turun uangnya setiap tahun ajaran baru. Sehingga uangnya turun tepat ketika kebutuhan akan pendidikan sedang mendesak. Tapi pertanyaannya, bagaimana jika ada kebutuhan lain yang lebih mendesak dari pendidikan, seperti misalnya makan? Bagaimana pula jika orang tua siswa tidak peduli dengan pendidikan anaknya dan lebih memilih memakai uangnya untuk kebutuhan lain? Dengan solusi dari Anies ini, penyalahgunaan dana pendidikan tetap akan terjadi karena warga tetap memiliki kuasa atas uang tunainya.

Lain lagi dengan program Anies soal wirausaha, OKE OCE. Ada beberapa masalah. Seperti Anies menjanjikan bantuan berupa modal untuk warganya yang ingin berwirausaha. Masalahnya, siapa yang akan mendapatkan modal dan bagaimana mekanisme seleksinya? Anies juga menjanjikan bimbingan wirausaha. Tetapi siapa yang akan memberikan bimbingan? Terakhir, Anies menjanjikan bantuan pemasaran. Tetapi bagaimana bentuknya? Apa bedanya jika kita menjual dagangan di platform jualan online seperti Jualo.com, Tokopedia, Bukalapak, dan Lazada?

Saya khawatir pemilih Anies hanya terpesona dengan janji-janji program yang begitu fantastis namun pada kenyataannya tidak lebih baik dari program Pemprov DKI saat ini. Mas Pandji, kita bukan sedang adu gengsi dan menang-menangan siapa yang benar kan? Kita sedang berdiskusi siapa kah calon pemimpin yang betul-betul dapat membangun warganya kan? Jika memang demikian, apakah bijak menjanjikan program kerja yang sebenarnya tidak lebih baik dari yang sekarang?

Mari Tidak Hanya Bicara

Saya tidak pernah setuju bahwa seseorang yang berbicara juga harus mampu bekerja. Seakan semua orang harus berperan sebagai pelaksana. Padahal setiap orang memiliki kemampuan dan peran masing-masing. Ada yang sangat cerdas, memiliki banyak gagasan, mampu membuat rencana yang hebat, tapi tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakannya. Atau bahkan mereka hanya mampu beridato inspiratif, membuat orang lain semangat bekerja, seperti Mario Teguh. Apakah dia salah? Tidak. Karena peran dia adalah menciptakan gagasan, inovasi, rencana, atau sekedar menciptakan rasa nyaman. Di sisi lain, ada orang tak memiliki ide, tak mampu membuat rencana, ucapannya tidak menyenangkan, tapi ia mampu menjadi pelaksana yang cekatan dan tersruktur. Apakah dia salah? Tidak juga. Karena peran dia adalah pelaksana.

Menurut saya Anies adalah tipe pertama. Ucapannya menyejukkan dan membuat pendengarnya bersemangat. Tetapi ia tidak terbukti mampu melaksanakan tugas. Justru hasil kerjanya patut dipertanyakan karena telah diberhentikan dari kursi menteri. Bahkan anak buahnya pun mengeluhkan kinerjanya.

Bagaimana dengan Ahok? Ahok adalah tipe pertama. Ia mampu menciptakan gagasan-gagasan baru yang bermanfaat bagi rakyat. Seperti bagaimana caranya menanggulangi banjir hingga bagaimana caranya membangun infrastruktur tanpa mengurangi dana pemerintah agar dana pemerintah terfokus dalam subsidi untuk warganya. Tapi Ahok juga masuk pada tipe kedua. Ia mampu melaksanakan gagasan dan rencana yang dibuatnya. Beberapa sudah dapat dinikmati dan beberapa masih dikerjakan. Dari titik banjir sudah berkurang hingga infrastruktur seperti trotoar pun bisa ia bangun dengan dana dari swasta.

Tak hanya memiliki gagasan dan mampu melaksanakannya, Ahok juga mampu mendengarkan. Setiap harinya ia membuka pintu untuk semua orang yang ingin mengeluhkan masalahnya kepadanya. Bahkan karena kasihan, Ahok menyediakan kursi-kursi di balkon Balaikota agar warga dapat duduk sambil menunggunya datang. Saya pernah bertanya kepada Ahok saat berkesempatan membuntutinya seharian, kenapa pada zamannya Balaikota dibuka untuk umum? Ia menjawab,

Saya kira saya kan pegawai, ini rumah rakyat. Kita pegawai ya harus kasih lah. Kayak ini, surat semua yang masuk, saya mau baca semua. Saya harus ngerti. Mau surat tembusan saya juga mau tau. Duduk disini membaca ini semua laporan, jadi mengerti.

Jadi Mas Pandji, pemimpin bekerja tidak hanya lewat bicara, namun juga lewat kemampuannya mendengarkan, memahami masalah, menciptakan program kerja dan melaksanakannya. Apakah Anies mampu melakukannya? Apa bukti ia mampu melakukannya?

Mas Pandji Tak Perlu Khawatir

Pernah kah Mas Pandji mendengar ucapan Ahok ini?

Kalo saya tidak terpilih lagi, jangan khawatir. Jabatan saya berakhir Oktober 2017 kok. Jadi sisa satu tahun ini percayakan pada saya saja. Saya kerjanya cepet kok. Nggak ada saya pun nggak usah khawatir. Saya sudah bikin peraturan, siapa pun yang jadi gubernur, asalkan jujur dan kerja nyata tidak nyolong, pasti lancar. Maka jika ada yang lebih nyata dari saya, lebih rajin, lebih hebat, pilih dia saja.

Itu adalah ucapan Ahok di depan warga DKI tahun 2016 lalu sebelum ia cuti bekerja. Jika memang Mas Pandji tidak berkenan Ahok meneruskan pekerjaannya, maka tak perlu khawatir. Ia sudah pasrah dan menyerahkan semua itu kepada Mas Pandji dan warga Jakarta lainnya. Ia pun berjanji akan menggunakan sisa masa kerjanya dengan sebaik mungkin dan bekerja dengan secepat mungkin. Ia juga memastikan telah membuat peraturan agar siapapun gubernur yang warga Jakarta percayakan setelahnya akan bekerja dengan lancar. Asalkan gubernur setelahnya bekerja nyata dan tidak nyolong.

Sekali lagi Mas Pandji tak perlu khawatir. Silakan pilih pemimpin yang pandai berbicara atau pemimpin yang menjanjikan relokasi yang tidak melanggar HAM. Silakan. Namun dengan satu syarat sederhana: jika memang pilihan Mas Pandji lebih baik dari Ahok dalam merawat Jakarta dan manusianya. Kalau dari merunut pendapatnya, mengingat tindakannya, melihat rekam jejaknya dalam bekerja, dan memahami programnya, apakah Anies lebih baik dari Ahok?

Mas Pandji, Ini Tidak Gampang

Menulis artikel ini tidak sederhana, Mas. Banyak data dan informasi yang harus saya cek ulang. Mungkin saya juga luput. Mohon dikoreksi ya, Mas.

Menulis artikel ini sulit, Mas. Saya takut. Takut jika saya salah berucap sehingga menyakiti hatimu dan takut kita akan bermusuhan. Tapi saya lebih takut lagi jika para pembacamu mengamini semua argumenmu dengan mentah-mentah tanpa tau apa saja yang luput dan memahami masalah dengan lebih detail. Maka saya putuskan untuk menulsi artikel ini dan menyebarkannya.

Menulis artikel ini tidak gampang, Mas. Apalagi kali ini aku harus berseberangan dengan orang yang sangat aku sayangi. 

Sehari Membuntuti Ahok Bekerja, Bertanya Apa Kekurangan Dirinya dan Bagaimana Jika Ia Dibunuh

Pada kesempatan pertama bertemu dengan Ahok untuk makan malam bersamanya, Ahok berjanji membolehkan saya membuntutinya seharian saat ia bekerja dan ia pun menepatinya. Sebenarnya saya hanya meminta seharian membuntutinya, namun ia sempat bertanya, "Mau berapa hari?" Ditanya begitu saya melunjak, "Waaaah kalau bisa berhari-hari saya mau sekali. Tapi mungkin 2 hari saja cukup." Awalnya saya berencana membuntutinya saat bekerja di weekdays dan saat ia mendatangi nikahan warga di Hari Sabtu. Sayangnya, jadwal saya tidak memungkinkan. Sehingga saya tidak pernah bisa membuntuti Ahok mendatangi nikahan warga yang selalu di Hari Sabtu itu. Saya hanya membuntutinya seharian di Balaikota.

Akhirnya Kesempatan Membuntutinya Tiba

Setelah mencocokkan jadwal saya bekerja dan jadwal Ahok, akhirnya kesempatan membuntutinya tiba. Pada Hari Jumat, 16 September 2016 pagi saya ke Balaikota siap menyaksikan Ahok bekerja dengan mata kepala saya sendiri. Saya datang bukan untuk menanyakan kebijakan atau masalah politiknya. Saya datang untuk menyaksikan apa saja yang ia lakukan seharian di Balaikota, bagaimana ia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya saat bekerja, dan menanyakan beberapa hal sederhana.

Ahok dari Ruang ke Ruang, dari Meeting ke Makan, dari Pagi hingga Malam

Mengikuti Ahok bekerja seharian di Balaikota artinya mengikutinya berpindah-pindah dari ruang meeting ke ruang meeting yang lain. Saat saya tiba, Ahok sedang di mejanya menandatangi berbagai dokumen dibantu oleh ajudannya, Mas Pri. 

Selesai menandatangani dokumen, ia bergegas ke ruang meeting di bagian belakang ruang tamu untuk menemui murid-murid dari sekolah Australian Independent School. Sudah ada beberapa guru dan murid-murid duduk di depan meja oval. Ahok pun ikut duduk. Untuk menyambut kedatangan Ahok, sang kepala sekolah mengatakan anak-anak ini ingin bertemu Ahok karena kata para murid, "He's the best governor ever." Setelah satu-satu memperkenalkan namanya, mereka menanyakan beberapa macam hal dan Ahok menjawabnya. Dalam menjawab sebuah pertanyaan, Ahok sempat mengatakan, "Brain is otak, you know? And muscle is otot. To be a governor of Jakarta you don't need a good otak but a good otot." Seruangan tertawa.

Ia menambahkan, "Because everything you already know! Everything! We have staff from the best universities. We know everything. The problem is, you have the courage to execute it or not? Because you will be disturbed by the interest from the poorest to the richest."

Selesai bertemu mereka, Ahok keluar ruangan menuju ke aula. Setiap ia keluar dari suatu ruangan ke ruangan lainnya, ada belasan orang menunggunya lalu berebut mengajak berfoto bersamanya. Ahok melayani mereka semua.

Setelah melayani permintaan foto, ia berjalan cepat memasuki aula. Ia sudah ditunggu ratusan siswa berprestasi se-DKI Jakarta berserta guru dan orang tua. Mereka disana untuk diberi selamat dan berfoto bersama Ahok. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan saat ia tiba di pintu utama aula. Ia disambut dengan begitu meriah. Saya yang berjalan di belakangnya merinding. 

Dalam perjalanannya menuju panggung, Ahok kembali diserbu kerumunan orang yang mengajaknya berselfie. Sampai di atas panggung, ia memberi sambutan dan berfoto bersama dengan seluruh siswa berprestasi dari setiap sekolah.

Setelah selesai, ia turun dari panggung menuju ke luar aula. Lagi-lagi perjalanannya terhambat oleh ibu-ibu yang ingin berselfie dengannya dan menghabiskan waktu 15 - 30 menit waktunya. Di tengah perjalanan keluar, Ahok tiba-tiba menundukkan badannya dan berbicara dengan seorang anak perempuan berhijab. Setelah mereka tersenyum, ia pun merangkul anak itu dan melihat ke arah kamera orang tua si anak. Menurut pandangan saya, senyum Ahok yang paling sumringah adalah saat ia bertemu anak kecil.

Setelah terbebas dari ajakan berselfie, Ahok memasuki ruang tamu. Ia sudah ditunggu seorang polisi. Setelah mereka bersalaman, masuk ruangan, lalu pintu ditutup. Saya sudah percaya diri mau ikut masuk ke ruangan meeting namun ternyata pintu ditutup di depan muka saya. Rasanya memalukan sekali hahaha.

Daripada kelamaan malu, saya langsung berbalik badan, bergegas menuju tempat duduk di depan ruang meeting dan mengobrol dengan petugas keamanan. Tetapi tIba-tiba saya mendapat pesan di WhatsApp dari asisten Ahok, "Mbak Dian jangan di luar. Kata Bapak, Mbak Dian masuk aja." Waaaa... Ternyata Ahok tidak melupakan saya!

Selesai bertemu dengan seorang polisi, Ahok pun keluar lalu kembali ke ruangannya, duduk, dan menandatangani beberapa dokumen lagi. Sesekali stafnya bergantian menghampirinya untuk membahas sesuatu. Sering kali ia juga bergurau dengan mereka.

Di saat itu pula, ada seorang bapak pegawai pemprov DKI masuk ke ruangannya untuk memberikan undangan pernikahan. Ahok membaca undangan dan bertanya apakah bapak itu yang mau menikah? Sambil tertawa bapak itu menyakinkan bahwa anaknya yang mau menikah, bukan dirinya. Ahok tertawa jahil menanggapi jawabannya. Ahok dan bapak itu pun berfoto bersama. 

Setelah itu Ahok mengajak staffnya dan saya untuk makan siang bersama. Di belakang mejanya ada ruang makan kecil berisi meja makan, kulkas, dan lauk pauk yang sudah siap tersaji. Saya dibuat kenyang sekali siang itu. Sambil makan, kami membahas nama-nama selebriti dan gosipnya. Selesai makan, Ahok bertanya kepada saya, "Dian, suka es krim?" Itu pertanyaan sungguh pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tentu saja saya suka es krim! Ia pun berdiri, membuka kulkas dan bertanya lagi, "Dian sukanya rasa apa?" Kemudian ia mengambilkan es krim rasa strawberry sesuai keinginan saya. Belum selesai saya menghabiskan es krim, ia pun menawarkan durian dari Medan! 

Selesai makan siang, kami menuju ke ruang meeting belakang. Jadwal berikutnya ia bertemu dengan perwakilan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dalam rapat itu, Ahok membahas mengenai sengketa tanah, pembebasan lahan negara, perluasan lahan, pembangunan jalan, penyiraman taman yang efisien, pembuatan waduk, deal dengan perusahan-perusahaan, peraturan gubernur, pengurusan sertifikat atas permintaan masyarakat, rencana scan dan upload segala dokumen agar pengembang tidak perlu menyogok orang dalam lagi, dan membahas berbagai masalah lainnya. Tentu saja saya tidak memahami detail percakapan mereka karena terlalu teknis. Namun yang menarik, dalam rapat itu mereka juga membahas usaha pemerintah DKI agar mendapatkan dana dari pihak swasta untuk mendanai infrastruktur daerah. Ahok mengatakan,  "Sebisa mungkin pemerintah provinsi DKI tidak mengeluarkan dana sepeserpun untuk infrastruktur agar dananya dapat digunakan untuk subsidi transportasi, perumahan, pendidikan, dan kesehatan." Saya sempat merekamnya melalui Facebook live. 

Selesai bertemu dengan BKPRD, Ahok bergegas ke ruang tamu. Ia sudah ditunggu oleh seorang sejarawan dari Belanda. Sejarawan itu telah selesai membuat buku berisi foto-foto Jakarta masa lalu dan ingin memberikan langsung ke Ahok dan pemprov DKI. Ahok meminta tanda tangan si sejarawan di bukunya dan si sejarawan meminta berfoto bersama Ahok.

Setelah itu ada satu meeting yang harus saya lewatkan karena suatu hal. Namun selesai meeting tersebut, saya mengikuti Ahok kembali ke ruang tamu. Ia menemui perwakilan dari Bulog. Mereka membahas mengenai pangan, gula, daging, dan harga-harganya. Lagi-lagi pembicaraan mereka sangat teknis. Saya berfikir, di dalam kepalanya Ahok itu memori dan processornya seberapa besar ya? Kok ia bisa mengingat dan bahkan sangat memahami semua detailnya?

Sekitar pukul 18.00 WIB, selesai sudah seluruh jadwal meetingnya. Hari sudah gelap, ia pun mengajak saya ke ruang makan kecilnya untuk makan malam. Saya dibuat kekenyangan lagi dan disuguh durian lagi. Kali ini pemberian kerabatnya dari Singapura. Enak sekali! Sambil makan, kami kembali membahas selebriti Indonesia, siapa yang paling cantik dan paling ganteng.

Ahok Menjawab Pertanyaan Saya

Selesai makan, saya meminta izin untuk mewawancarainya dan merekamnya. Ia berkenan. Setelah menghidupkan recorder, saya bertanya,

"Tadi saya lihat banyak banget ya Pak yang pengen foto sama Bapak. Apa nggak capek?"

"Kalo kamu melayani orang dengan senang hati, mesti nggak capek. Pekerjaan pemerintah ini nggak bisa pura-pura. Kalau kamu pura-pura, kamu burn out, nggak tahan. Saya sudah terbiasa seperti ini belasan tahun."

"Lalu kenapa Bapak senang melayani orang?"

"Karena saya memutuskan masuk politik kan untuk melayani orang. Karena pekerjaan ini untuk melayani banyak orang."

"Itu tujuannya, tapi kenapa Bapak ingin melayani orang? Kenapa senang melakukannya?"

"Dari kecil, dibentuk dari Bapak, kalau mau menolong orang, ya harus melayani orang. Tadinya saya tidak membuka seperti itu."

"Membuka apa?"

"Membuka setiap pagi begitu (masyarakat diperbolehkan masuk ke teras Balaikota untuk mengeluhkan masalahnya atau sekedar berfoto). Masalahnya kita mau masuk kerja, ada orang sudah nungguin di depan, masak saya kabur lewat belakang menghindari orang? Kasihan dong orang sudah nunggu? Orang berdiriiiiiii nungguin gitu. Kasihan kan? Makanya saya belikan empat set kursi itu hehehe. Untuk mereka menunggu. Kita dengerin atau lewat sms. Orang mau ketemu, mau foto, ya sudah."

"Tapi dulu kan (Balaikota) ditutup?"

"Iya dulu nggak boleh injek. Hahaha."

"Kok Bapak malah bolehin sampai masuk teras?"

"Saya kira saya kan pegawai, ini rumah rakyat. Kita pegawai ya harus kasih lah. Kayak ini, surat semua yang masuk, saya mau baca semua. Saya harus ngerti. Mau surat tembusan saya juga mau tau. Duduk disini membaca ini semua laporan, jadi mengerti."

"Ada nggak yang menjengkelkan?"

"Pasti ada, gua semprot aja kalau kurang ajar begitu."

"Hahaha! Saya selalu khawatir ada yang mau menembak mati Bapak gitu. Kan gampang sekali itu, Pak? Bapak nggak takut?"

"Mati kan di tangan Tuhan? Kalau kamu memang harusnya mati muda mau bilang apa? Memang kamu takut bisa membuat tidak jadi mati? Kalau kekhawatiran bisa membuat saya jadi panjang umur, saya mau khawatir. Tapi kan enggak? Jadi buat apa takut?"

"Tapi sebenarnya kekhawatiran itu ada kan?"

"Kalau kekhawatiran itu ada, stress dong, sakit dong saya?"

"Sedikit pun tidak ada?"

"Kenapa saya bisa hidup enak? Tidur enak? Karena saya pasrah."

"Tapi padahal kemungkinan itu ada kan, Pak?"

"Ya kalau memang Tuhan memutuskan saya harus mati, ya saya mati. Ngapain dipikirin? Yang kita pikirin masuk surga atau tidak itu."

"Tapi paling tidak bisa lebih hati-hati?"

"Ya pasti harus hati-hati, nggak sembarangan juga. Makanya kalau ada yang ngajak duel, ya nggak diladenin. Ngapain? Saya bukan tukang pukul. Kalau sama-sama gubernur, baru boleh hehehe."

"Oh hehehe. Trus Bapak kangen nggak sama kehidupan biasa, misal ke supermarket gitu?"

"Sudah saya matikan. Nggak ada lagi. Dahulu saya paling suka belanja di supermarket, jalan. Sekarang saya sudah nggak ada keinginan itu lagi. Kalau punya keinginan, harus segera dilupakan saja. Kita harus terima nasib kita harus kayak gitu. Karena suka kita melayani lebih besar daripada keinginan itu."

"Wahhh... Ada nggak sih yang kurang dari Bapak selama ini?

"Ya banyak lah."

"Apa kelemahan Bapak menurut Bapak sendiri?"

"Saya itu tidak bisa bersandiwara aja."

"Lho malah bagus kan, Pak? Bukan kah itu genuine? Sebuah kelebihan?"

"Tapi kan untuk di dalam politik itu kekurangan? Misal kamu mau layanin orang tapi orang ngeyel, marah dong. Marah mengurangi simpati orang. Tapi saya nggak peduli."

Iya, kadang kita harus palsu atau punya poker face agar orang lain suka dengan kita. Atau paling tidak, tidak menimbulkan drama. Tidak bisa bersandiwara atau genuine itu bisa menjadi sebuah kelemahan karena orang lain jadi mudah menebak kita sedang marah atau biasa saja, bahagia atau sedih, jatuh cinta atau jijik, santun atau preman, dan lain-lain.

Tapi tetap bagi saya, genuinity adalah suatu kelebihan. Karena kita jadi tau saat dia melakukan sesuatu karena terpaksa atau memang tulus. Dan itu yang harus kita perhatikan dalam memilih seorang pemimpin. 

Di akhir wawancara, saya bertanya, "Apa keinginan pribadi Bapak?"

"Saya pribadi hanya ingin ada keadilan sosial. Orang mendapatkan haknya. Secara pribadi saya tidak bisa membantu banyak orang. Makanya lewat menjadi pemerintah bisa membantu banyak. Seperti keadilan sosial, bantuan sosial. Orang sakit, ada BPJS, ya pergi berobat. Sekolah pun begitu. Itulah keadilan sosial."

Majikan yang Beruntung

Selesai makan dan wawancara, kami menuju ke ruang kerjanya untuk berfoto di kursi panasnya. Saya duduk dan Ahok berdiri di belakang saya. Selesai berfoto, kami bersalaman dan kemudian Ahok bergegas keluar untuk pulang ke rumahnya. Sebelum keluar ruangan, ia melambaikan tangannya ke saya.

Hari itu sebelum saya tidur, ada yang mengirimi saya pesan dan bertanya bagaimana rasanya seharian bersama Ahok dan duduk di kursi panasnya? Saya jawab, "Rasanya luar biasa bangganya. Indonesia memiliki pelayan-pelayan yang setia dan selalu berusaha melayani majikannya dengan sebaik-baiknya. Kita adalah majikan-majikan yang beruntung. Majikan-majikan yang memang seharusnya dilayani dan selalu bisa mengkritik kinerja pelayannya tanpa rasa takut. I will never take it for granted."

PS: Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Ima, Mas Sakti, Mas Pri, dan seluruh staff yang telah membantu saya membuntuti Ahok hari itu.

Jangan Unfriend Teman Facebook

Unfriend atau unfollow teman yang punya perbedaan pandangan politik itu bisa membuat kita sama dengan para ekstrimis, tidak open minded.

Jadi jangan di-unfriend, jangan di-unfollow. Baca dan dipahami, apakah pendapat mereka benar sehingga kita jadi belajar pandangan baru, tidak benar tapi penting untuk ditanggapi, atau ngaco dan biarkan saja lewat? Kita jadi belajar tenang dan open minded.

Open minded tidak selalu terbuka pada hal-hal modern dan liberal. Open minded terbuka pada segala hal, termasuk pemikiran ekstrimis sekalipun. Mari bareng-bareng belajar open minded!

Tidak Perlu Block Mereka

Orang-orang ekstrimis di Twitter itu setiap hari berusaha membuatku marah dengan berulang kali mengatakan, "Dian kan Kristen" atau "Dian kan bukan muslim." Bahkan ada yang sempet-sempetnya komen di setiap postingan blogku dengan kalimat yang sama, "Mbak Dian Paramita ini Kristen lho, tapi kok seperti pura-pura Islam ya, kenapa?" Dikira aku akan marah dan membela diri. Dikira aku akan tweet balik berusaha meyakinkan mereka kalo aku muslim dan mereka memfitnah. Dikira mereka worth it untuk diyakinkan. Jangankan menanggapi, meluangkan waktu untuk blockakun mereka saja aku tidak punya. Mending melamun sambil mengelus-elus kucingku. Lagipula memang kenapa kalau pun saya bukan muslim? 

Kadang ada orang-orang yang saking tidak suka dengan pendapat kita, mereka ingin menghajar kita lewat jalur pribadi. Membuat kita marah dan membuat kita jadi tampak tolol. Kita jadi lupa bahwa awalnya kita hanya berbeda pendapat, bukan berbeda urusan pribadi. Dan salah satu cara agar terlatih bertemu orang seperti itu adalah dengan tidak memblock siapapun dan membaca semua pendapat atau cacian. Kita jadi terlatih memilih mana yang perlu diperhatikan dan mana yang harus dilewati tanpa emosi.

Makan Malam dengan Ahok

Atas inisiatif bersama, beberapa teman-teman sosial media meminta waktu kepada Ahok untuk bertemu dan berbincang. Saya pun diajak untuk ikut serta. Saya gembira sekali. Kesempatan bertemu pemimpin pemerintah dan dapat mengobrol dengan lebih dekat adalah hal yang sangat berharga di dunia ini. Apalagi sejauh ini menurut pandangan saya Ahok adalah salah satu pemimpin yang terbaik di Indonesia. Bukan sempurna, tetapi terbaik. Ia dapat menunjukkan proses dan hasil kerja. Ia pun independen bukan dari partai politik manapun.

Kami Terlambat

Kami dijadwalkan untuk hadir di rumah pribadi Ahok di Jakarta Utara pada Hari Jumat, 8 April pukul 18.00. Saya bersama Mbak Renny Fernandez berangkat dari Jakarta Selatan pukul 17.00. Tetapi karena macet, maka sampai sana pun kami terlambat hingga pukul 18.40. Sebelum masuk ke komplek perumahannya, satpam komplek menanyakan maksud kehadiran kami. Kamipun diperbolehkan masuk komplek setelah menyebutkan nama.

Kami sedikit kesulitan mencari rumah Ahok karena tidak ada yang berbeda dengan rumah lainnya. Sampai akhirnya kami menemukan dan bertemu dengan salah satu asisten Ahok bernama Mbak Ima yang sedang berada di depan rumah. Kami diantarkan ke ruang makan Ahok dan akhirnya kami pun bertemu dengannya. Ia sedang duduk membelakangi pintu sambil bercerita namun kemudian berhenti saat kami datang. Ia memutarkan badannya untuk menyalami kami berdua. Sebelum kami meminta maaf karena telat dikarenakan macet, Ahok berkata, "telat karena macet ya? Kalo karena macet berarti salah saya."

Kwetiau Seafood, Martabak, Pempek, Anjing, dan Beer

Kami pun dipersilahkan duduk dan disodori sebungkus kwetiau goreng seafood yang luar biasa lezatnya. Belum selesai menyelesaikan kwetiau tersebut, di tengah bercerita Ahok mengatakan ia sedang memesan martabak yang enak sekali. Benar, memang enak bukan main. Martabak keju dan asin. Kemudian tiba-tiba datang juga Pempek Susan. Astaga!

Hiburan malam itu tidak hanya makanannya, tetapi juga anjing berbaju pink peliharaan Ahok yang bernama Cookie. Ia lari masuk saat pintu ruang makan terbuka. Langsung SKSD dengan para tamu. Saya pun menggendongnya dan selama berjam-jam dia lengket di pangkuan saya.

Selain ada anjing, ada juga beer. Beberapa tamu minum beer. Tentu saja para tamu tidak mabuk. Apalagi mabuk-mabukan seperti orang gila. Mungkin kami bisa mabuk jika meminum puluhan kaleng beer. Namun orang bodoh mana yang tidak bisa mengontrol minumannya hingga mabuk padahal sedang bertemu orang penting? Saya rasa tidak ada orang sebodoh itu.

Ahok sendiri minum susu. No kidding. Tapi apakah ini penting? Kita lebih sibuk memikirkan apa yang ia minum daripada apa yang ia lakukan terhadap sesama dan makhluk lain ciptaan Tuhan?

Ahok Malam Itu

Sebelum ke pertemuan itu, saya sudah dengar gosip kalo Ahok itu suka bercerita. Ternyata benar. Ceritanya banyak sekali. Mayoritas bikin keki karena menyangkut ketidakadilan dan kerugian negara yang dilakukan oknum. Tetapi ceritanya lucu. Ia menceritakan dengan nada suara dan gerak-gerik yang komikal. Sampai kadang ia lupa meneruskan makannya. Beberapa kali ia mempersilahkan asistennya untuk membantu menceritakan suatu issue agar dia bisa berhenti dulu untuk melahap kwetiaunya.

Ahok juga tak terduga. Makan malam saat itu bersifat santai, kami bisa berjalan-jalan mengambil makanan, pindah tempat duduk, bermain dengan anjingnya, dan bolak-balik ke kamar mandi. Suatu ketika ada tamu sedang berdiri di depan kamar mandi untuk mengantri. Di tengah bercerita, Ahok sempat-sempatnya berhenti bercerita dan mempersilahkan tamunya untuk menggunakan kamar mandi di kamarnya. Bagi saya ini lucu mengingat bagaimana antusiasnya dia bercerita namun masih bisa aware ada tamunya yang kebelet.

Cerita-Cerita Ahok

Seingat saya, saat saya datang Ahok sedang tengah bercerita mengenai reklamasi Jakarta. Saya juga ingat ia bercerita mengenai lahan-lahan hijau yang digunakan bangunan komersil, mengenai bagaimana orang-orang berusaha "mengadali" pemerintah, mengenai peraturan pemerintah, dan lain-lain. 

Sayangnya saya duduk di ujung meja yang jauh dari tempat duduk Ahok. Sejujurnya saya sangat kesulitan mengikuti perbincangan dengan Ahok malam itu karena saya memiliki masalah pendengaran apalagi jika tidak bisa melihat dengan jelas gerakan bibirnya. Saya juga merasa belum memiliki pengetahuan penuh mengenai masalah-masalah ini, sehingga saya tidak berani menuliskannya dan berkomentar disini.

Di kesempatan itu para tamu juga banyak yang menanyakan dan mengeluhkan beberapa hal. Pertanyaan-pertanyaan dijawab Ahok dengan panjang lebar dan keluhan langsung dia catat. Bahkan janjinya akan segera menindaklanjuti oknum (yang tidak dapat disebutkan) itu. Jika terbukti salah, akan ia pecat. Ia sempat berkata, "tidak ada yang tidak mungkin."

Trotoar dan Kucing Liar

Hampir 6 jam nonstop kami dan Ahok berbincang malam itu. Pertemuan hampir saja disudahi padahal saya belum sempat bertanya. Saya pun langsung mengangkat tangan, "tapi Pak saya mau nanya. Jika tidak ada yang tidak mungkin, apakah bisa seluruh jalanan di Jakarta ini memiliki trotoar?"

Ia mengatakan ia sudah merencanakan pembuatan trotoar dan katanya akan memakan waktu 5 tahun. Lalu saya tanyakan bagaimana dengan jalanan kecil yang sepertinya tidak mungkin lagi untuk diberi trotoar? Apakah harus mengambil tanah warga? Ia mengatakan beberapa titik memang tidak mungkin tetapi ia juga sedang mengusahakan trotoar gantung. I can not wait for that.

Selanjutnya saya juga menanyakan bagaimana dengan anjing dan kucing liar di Jakarta? Apa yang bisa Pemerintah Provinsi Jakarta lakukan? Ia katakan ia akan mensteril semuanya agar menekan angka populasi. Lalu setiap anjing dan kucing yang sudah disteril akan diberi chip agar bisa didata. Saya sendiri puas atas jawaban itu. Walau belum sampai pada solusi pembuatan shelter untuk menampung anjing dan kucing liar, paling tidak ia sudah memikirkan bagaimana menekan angka populasinya melalui cara sterilisasi.

Foto Bareng dan Menodongnya

Usai berbincang, tentu saja kami berfoto bersama. Saat saya mendapat giliran foto, saya menodongnya, "Pak, apakah saya boleh mengikuti bapak seharian bekerja lalu saya tulis di blog?" Karena saya terlalu pendek untuknya, ia harus menunduk dan meminta saya mengulang pertanyaan saya. Saat saya tanyakan kembali, dia pun setuju dan justru langsung memikirkan hari apa yang enak buat saya. Karena tidak enak banyak yang mengantri foto, maka ia langsung memanggilkan asistennya untuk membuatkan jadwal untuk saya.

Tadinya saya meminta sehari bersama Ahok tetapi malah ditawari dua hari. Saat weekday dia di kantor dan saat weekend menghadiri nikahan warga. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu kembali dan melhat sendiri Ahok saat bekerja dan menghadiri nikahan warga.

Latar Belakang Mendukung

Saya selalu berusaha memahami jika orang lain mendukung calon pemimpin yang berbeda dengan saya. Saya berusaha masuk dalam pikirannya. Mengapa mereka mendukung calon tertentu? Saya sendiri menentukan pilihan berdasarkan kualitasnya. Seperti kualitas ideologinya, visi-misinya, rencana kerjanya, hingga rekam jejaknya. Karena saya sendiri demikian, maka saya berfikir orang lain pun juga demikian dalam menentukan pilihannya.

Namun sekarang rakyat sipil yang mendukung seorang calon pemimpin seakan melakukan tindakan kriminal. Datang ke rumahnya untuk makan malam dan berbincang pun dicurigai. Padahal sejatinya, apa salahnya para pendukung datang ke rumah calon pemimpin dukungannya? Apakah melanggar aturan jika rakyat sipil menyatakan dukungannya?

Makin deras tuduhan saya mendapat bayaran. Dituduh memiliki agenda tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompok sendiri. Padahal saya datang karena memang sudah mendukungnya, bukan datang untuk diberi arahan dan dibayar lalu baru mendukungnya. 

Sejak 2010 susah payah saya menolak beberapa tawaran buzzing dari brand maupun pemerintah yang hendak membeli opini saya, Membohongi publik bahwa suatu brand minuman tertentu lebih baik dari kompetitornya saja saya tolak. Apalagi membohongi publik mengenai pandangan politik saya. Berapapun bayarannya, mau tidak mau harus saya tolak. Tentu saja bukan karena kaya tetapi karena tidak sampai hati. Masak publik yang selama ini percaya kepada saya lalu saya bohongi? Saya tidak tega sehingga beberapa kali saya harus menolak tawaran besar itu sambil menelan ludah. Saya beruntung, berkat dukungan keluarga, saya masih bisa mempertahankan idealisme. Walaupun begitu, tetap saja ada yang dengan entengnya memfitnah saya dibayar.

Kemudian saya menyadari, jika mereka bisa-bisanya berfikir orang lain bisa diarahkan opininya, mendukung calon pemimpin karena faktor uang dan kepentingan pribadinya, maka kemungkinan besar karena mereka sendiri demikian. 

Salam,

Dian

Rakyat Mampu = Berkorupsi?

Dahulu saat saya sering melakukan aksi sosial, banyak yang mengeluh kepada saya. Mereka mengeluhkan mengenai diri mereka sendiri yang saat itu tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan aksi sosial seperti saya. Mereka merasa malu, tapi di sisi lain mereka memang tidak mampu memberikan apapun. Bahkan tenaga dan waktu sekalipun. Karena mereka sudah disibukkan dengan jadwal pekerjaan.

Saya katakan kepada mereka, tidak perlu membuat aksi sosial atau terlibat di dalam salah satunya jika kita memang tidak memiliki waktu, tenaga, atau dana yang cukup. Menjadi warga yang baik dan adil terhadap orang maupun makhluk lain sudah lebih dari cukup dalam melakukan aksi sosial.

Tidak Mengambil Hak Orang Lain

Tidak mengambil hak orang lain terdengar mudah dilakukan dan sebenarnya memang mudah dilakukan. Jika saya bertanya kepada Anda, “apakah Anda mau mengambil hak orang lain?” Seseorang yang dilahirkan dari keluarga yang adil dan bermartabat pasti akan menjawabnya dengan mengernyitkan dahi, “Ha! Ya enggaklah!”

Kita, warga yang berkecupukan, berpendidikan, dan bermartabat, pasti tidak akan mengambil barang milik orang lain. Kita tidak mungkin berniat jahat melihat sendal bagus di depan masjid, melihat rumah tidak terkunci, melihat dompet terjatuh, dan lain sebagainya. Karena sekali lagi, kita tidak mungkin mengambil hak orang lain. Kita tidak mungkin mencuri kekayaan orang lain yang jelas bukan milik kita. Kalaupun jika Anda melakukannya, pasti Anda memiliki gangguan jiwa seperti kleptomania.

Namun masalahnya, mengambil hak orang lain tidak melulu berarti “mengambil” secara harfiah. Tidak melulu ada barang milik orang lain lalu kita curi. Mengambil hak orang lain juga dapat berupa menggunakan trotoar untuk berjualan, menghentikan lalu lintas agar geng motor gedenya lewat duluan, atau yang masing sering terjadi, menggunakan produk-produk subsidi dari pemerintah.

 Subsidi Pemerintah

Guna subsidi pemerintah tentu saja untuk membantu rakyat miskin agar dapat hidup layak. Paling tidak kebutuhan sandang, pangan, maupun papannya tercukupi. Jika tiga pokok kebutuhan rakyat miskin ini tercukupi, maka hidup mereka menjadi layak. Jika hidup mereka menjadi layak, maka kualitas hidupnya pun menjadi meningkat. Mereka menjadi sejahtera. Apa hasil dari kesejahteraan mereka itu? Kehidupan mereka menjadi hampir sama dengan kita, para rakyat menengah ke atas. Jika kesejahteraan si miskin dan si kaya tidak banyak berbeda, maka gap kesejahteraan semakin menipis. Pada akhirnya hampir seluruh lapisan masyarakat akan seperti kita semua, berkecukupan, berpendidikan, dan bermartabat. Tentu saja ini berefek pada kehidupan masyarakat yang lebih aman, nyaman, dan seimbang. Bukankah itu menyenangkan bagi kita semua?

Namun sayang, banyak rakyat menengah ke atas yang sebenarnya memiliki nilai-nilai “tidak akan mencuri milik orang lain”, menggunakan barang-barang subsidi dari pemerintah. Dengan kata lain, mereka mengambil barang milik rakyat miskin, mengambil hak orang lain. Tanpa sadar mereka telah menjadi pencuri, menjadi koruptor kecil. Menggunakan uang negara untuk sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Kita pusing memikirkan bagaimana menyumbang jutaan rupiah, meluangkan waktu, atau mengorbankan tenaga untuk membantu aksi sosial, namun justru melupakan sesuatu di depan mata kita. Yaitu tidak menggunakan barang-barang milik rakyat miskin.

Subsidi Gas

Salah satu subsidi pemerintah yang mungkin tidak banyak masyarakat tahu adalah gas LPG 3 Kg. Gas LPG 3 Kg diperuntukan kalangan miskin, bukan kita, si kalangan menengah ke atas. Kita tidak perlu saling menunjuk siapa yang merasa miskin atau kaya. Jika kita memiliki hati kecil, kita tahu apakah kita layak mengkonsumsi gas LPG 3 Kg atau tidak.

Jika kita merasa tidak layak menggunakan gas subsidi, maka seharusnya kita menggunakan gas LPG 12 Kg. Namun menurut Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina, Ahmad Bambang, saat ini 20% pengguna gas LPG 12 Kg nonsubsidi berpindah konsumsi ke gas LPG 3 Kg bersubsidi. Memalukan.

Perilaku seperti ini mengancam subsidi, mengancam rakyat miskin. Selain di pasar mereka harus berebut produk dengan rakyat mampu, dana subsidi pemerintah pun semakin terbebani karena konsumsi gas LPG 3 Kg yang terus meningkat. Sebab rakyat mampu turut menggunakannya. Jika ini terus terjadi, mimpi mensejahterakan dan meningkatkan seluruh kehidupan masyakat akan tidak pernah terjadi.

Masalah Masyarakat dan Solusi Pemerintah

Banyaknya masyarakat mampu menggunakan gas LPG 3 Kg sebenarnya beralasan. Pertama, mereka mengeluhkan bahwa gas LPG 12 Kg terlalu berat. Namun PT Pertamina memberikan solusi dengan mengeluarkan varian produk gas nonsubsidi Bright Gas dengan kemasan 5,5 Kg. Varian gas ini memiliki kelebihan teknologi baru untuk mencegah kebocoran, antara lain Double Spindle Valve System dan Optical Color Switch.

Kedua, mereka mengeluhkan produk gas nonsubsidi tidak mudah didapatkan. Namun nantinya produk Bright Gas 5,5 Kg dapat dipesan melalui Pertamina Contact Center 500000. Kita tidak perlu lagi mengambil hak rakyat miskin yang disebabkan kekurangan gas nonsubsidi.

Berbuat Sosial

Berbuat sosial itu tidak selalu menyumbangkan uang saat ekonomi kita belum stabil, atau meluangkan waktu saat seharusnya bekerja mencari nafkat, atau mengorbankan tenaga saat sebenarnya kita tidak mampu. Kita tidak perlu melakukan ketiga hal tersebut untuk menganggap diri sendiri telah berbuat sosial.

Berbuat sosial dapat dilakukan dengan hal sepele namun tetap membanggakan diri sendiri, yaitu tidak menggunakan barang-barang milik rakyat miskin yang disubsidi dari pemerintah. Hal yang sangat sederhana di depan mata kita, namun berdampak luar biasa terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. You should be proud of yourself if you did this already.

Apa yang Dilakukan Jonan Sudah Benar

 

Soal Jonan melarang ojek atau taksi online beroperasi itu sudah benar.

Pada dasarnya semua kegiatan masyarakat itu harus ditata oleh pemerintah. Karena mau ditata, maka setiap kegiatan harus dibedakan. Misalnya sebuah komplek mau dipakai perumahan, pertokoan, atau pabrik? Semua kegiatan/kebutuhan masyarakat yang satu ada dampaknya ke masyarakat yang lain. Disini peran pemerintah untuk menjadi penengah. Mengatur sedemikian rupa agar semua kegiatan di masyarakat seimbang. Meminimalisasi adanya kemungkinan saling merugikan. Kalo tidak diurusi pemerintah, mala semua orang akan asal membangun dan berkegiatan sesukanya. Seperti yang sudah terjadi di Indonesia. Tidak beraturan. Ada perkebunan bersebelahan dengan pabrik. Ada sekolah dasar bersebelahan dengan diskotik. Ada hotel di tengah perumahan. Ini seharusnya diatur. Sehingga setiap kegiatan atau kebutuhan dibedakan lalu diletakkan di wilayah yang sesuai.

Sama seperti kendaraan. Sebuah kendaraan akan dipakai untuk pribadi atau usaha? Karena jika usaha akan ada banyak hal yang harus diperhatikan pemerintah. Mulai kondisi mesin yang lebih sering dipakai daripada mesin kendaraan pribadi, hingga masalah tenaga kerjanya. Taksi biasa sudah harus bayar mahal untuk ijin usaha, lalu STNK kendaraannya pun berbeda. Mereka diperlakukan berbeda. Karena mereka menggunakan kendaraannya untuk usaha, untuk mencari duit. Sering berseliweran di jalanan untuk tujuan yang berbeda dari kendaraan pribadi. Lalu tiba-tiba ada taksi dan ojek menggunakan kendaraan pribadi mau mengambil konsumen mereka. Padahal tanpa ijin dan pastinya tanpa modal tinggi. Mereka juga tak berkewajiban melaporkan masalah usaha atau tenaga kerjanya. Karena toh mereka tidak memiliki ijin usaha karena kendaraan mereka pribadi kan? Apakah itu adil? Apakah kita akan terima dengan hal ini jika kita memiliki usaha taksi yang resmi? Pasti tidak. Pasti iri.

Ini akan menimbulkan masalah baru. Karena semakin banyak orang akan memakai kendaraan pribadinya untuk usaha, lalu yang resmi gulung tikar. Nanti saat sudah terlalu kacau dan akan ditertibkan, semua akan saling tuding, "lha itu dari dulu curang kok boleh? Aku juga boleh dong!" Aku yakin akan ada yang bilang, "yaudah biarin aja masyarakat berjalan sendiri. Kita tidak butuh pemerintah!" Padahal jika praktek asal-asalan seperti ini dibiarkan, akan menyebabkan yang kuat dan mayoritas selalu menekan yang lemah dan minoritas. Entah apakah itu di pihak pengusaha atau konsumennya. Suatu hari akan ada kegaduhan lagi dan akhirnya dibutuhkan pemimpin untuk menjadi penengah dan penyeimbang. Pemimpin butuh tim untuk membantu kerjanya. Pada akhirnya sama saja dengan fungsi pemerintah. Balik lagi ke awal, kita butuh pemerintah untuk menjadi penengah.

Tapi memang, di sisi lain kita butuh ojek dan taksi online! We even almost can't live without it! Apalagi di Jakarta. Apa yang dilakukan Jonan itu bener tapi ora pener. Ini istilah Jawa. Bener tapi tidak tepat. Langkahnya sesuai aturan tapi hasilnya tidak sesuai yang dibutuhkan. Pertama, pemerintah masih belum berhasil menciptakan kendaraan umum yang layak untuk semua lapisan & menekan angka kendaraan pribadi di Jakarta. Ini menyebabkan kemacetan. Tetapi ojek membantu masyarakat menghindari kemacetan itu. Secara tidak langsung membantu pemerintah mengurangi macet itu sendiri. Kedua, kalaupun ojek dan taksi online diharuskan memiliki STNK kendaraan umum, maka pasti biayanya lebih tinggi. Lalu uang itu kemana? Ke pemerintah? Tentu saja rakyat akan ngomel jengkel. "Mau diapain lagi uang kita? Dicolong lagi?" Ketiga, apa yang ada di paragraf pertama di atas hanya terjadi di negara maju. Dimana pemerintahnya bisa dipercaya akan mampu menjadi penengah untuk mengurusi segala kegiatan masyarakat agar seimbang. Tapi apa kita sudah percaya pemerintah kita dapat menjalankan tugasnya itu? Tentu saja tidak.

Ya yang jadi masalah adalah pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan Jonan, melakukan tindakan sesuai peraturan (melarang kendaraan pribadi untuk usaha), tetapi secara bersamaan Ia tidak mampu memberikan kepercayaan kepada rakyat dalam mengatur uang rakyat dan menjalankan tugasnya sebagai penengah dan penyeimbang kegiatan rakyat.

Beruntung pemerintah kita cepat tanggap dan mendukung ekonomi kreatif. Sehingga ojek dan taksi online tidak jadi dilarang hanya harus ada aturan baru. Salute!

Beberapa menit setelah Menteri Jonan melarang ojek dan taksi online, Presiden Jokowi post tweet ini.

Beberapa menit setelah Menteri Jonan melarang ojek dan taksi online, Presiden Jokowi post tweet ini.

Saudaraku Papua, Kalian Tidak Sendiri

Source: Liputan 6

Source: Liputan 6

Polisi kita rasis? Kalau orang Jawa memakai sorban lalu pawai tanpa helm didiamkan. Kalau segerombolan orang Jawa naik motor dengan suara bising dan merusak mobil orang lain, harus dibuatkan petisi agar polisi kita tegas. Kalau rombongan orang Jawa mengendarai moge menutupi jalan dan membuat macet, dikasih ijin oleh polisi. Giliran orang Papua merayakan ekspresi identitas Papua setiap tanggal 1 Desember, ditangkap dan ditahan.

Sebanyak 306 orang ditangkap secara sewenang-wenang. Bahkan ada 1 penjual batu akik yang bukan bagian dari massa ikut diangkut secara paksa. Selasa malam (1/12), sebanyak 22 orang masih ditahan. Setelah melalui tekanan, katanya akan dibebaskan. Itupun tidak kunjung dilakukan. Bahkan 2 orang akan tetap ditahan hingga Hari Jumat depan. Kenapa polisi begitu keras kepada saudara kita dari Papua dan tidak bisa tegas kepada orang Jawa yang jelas sering menganggu masyarakat umum? 

Saat tanah dan kekayaan alamnya menjadi rebutan tanpa mendapatkan keuntungan apapun, sekarang aksinya (yang tidak rusuh) pun dibungkam. Polisi mengatakan aksi itu tidak sesuai prosedur karena tidak memiliki ijin. Akan tetapi menurut Jeffry Wenda, Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua, dia telah mengirim surat pemberitahuan tiga hari sebelum aksi. Jika polisi mengulur pemberian ijin, maka saudara kita dari Papua tidak bisa melakukan aksinya sesuai tanggal 1 Desember. Tentu saja mereka tetap harus melakukan aksinya di ibukota. Akan tetapi saat mereka melakukan aksi dengan damai, polisi menembakkan gas air mata, menangkap 306 orang, lalu menahannya. Bahkan sekarang belum ada kabar yang adil mengenai penyelesaian kejadian ini. Polisi, kenapa kalian begitu sadisnya? Kenapa kalian begitu tidak adilnya? Mereka itu saudara kita juga!

Teruntuk saudaraku dari Papua, kalian tidak sendiri. Disini kami mendukungmu untuk mendapatkan kebahagian yang selalu kalian impikan. Maju terus untuk meraihnya. Kami di belakangmu.

PS: Terima kasih kepada LBH Jakarta dan KontraS yang selalu ada untuk orang-orang yang hak asasinya dilanggar seperti ini. Mereka menjadi pendamping yang luar biasa hebatnya. Semoga hidupnya selalu bahagia dan terlindungi.

Baca juga:

Kontras: Belum Ada Kabar Baik Tentang Papua

Kesaksian Victor Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat

 

Reformasi Birokrasi di Tangan Menteri Yuddy

I’m excited when I saw this cover of Tempo magazine. Akhirnya mereka membahas Menteri Yuddy Chrisnandi! Seperti biasa, majalah Tempo selalu membuat cover yang menampar. Kali ini menggambarkan Yuddy, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, jualan kursi seperti di bioskop. 

Saya excited melihat Tempo edisi ini karena dalam beberapa bulan ini saya telah banyak membahas masalah reformasi birokrasi. Masalah reformasi birokrasi adalah tugas Yuddy. Namun apakah ia benar menjalankannya? Saya rasa masih jauh dari benar. Ternyata Tempo juga memandang demikian. Dengan segala informasi yang Tempo dapatkan, ada kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan Yuddy.

Read More