Bangsa Penemu

Empat tahun lalu, dalam sebuah debat antar cagub dan cawagub Jawa Barat di Metro TV, Teten Masduki (cawagub dari PDIP) bertanya kepada lawannya, Deddy Mizwar (cawagub incumbent) mengenai banyaknya jumlah penduduk di Jawa Barat yang tidak sebanding dengan jumlah rumah sakitnya. Setelah kedip-kedip dan berfikir, Deddy pun menjawab, 

"Saya ini nggak biasa bicara angka sebenarnya, Bang Teten. Saya ini seniman. Jadi otak kanan saya yang banyak bicara. Saya nggak hafal angka…” (Video bisa ditonton disini, menit ke 06.39)

Walaupun sudah empat tahun lalu, debat itu tidak terlupakan. Bagaimana bisa kita memiliki seorang calon pemimpin yang mengatakan dia tidak biasa berbicara dengan angka? Ia mengatakan hal itu seakan angka adalah hal yang sepele. Padahal apa yang bisa ia lakukan untuk memajukan daerah yang dipimpinnya tanpa biasa berbicara dengan angka? Apa dasar-dasar keputusan-keputusannya nanti jika bukan dari angka? Misalnya, bagaimana ia bisa mengurangi kemiskinan jika tidak berbicara jumlah penduduknya yang miskin? Bagaimana ia bisa menentukan kebijakan dana bantuan pendidikan tanpa berbicara jumlah anak sekolah di daerahnya? Dan seperti pertanyaan Teten Masduki, bagaimana dapat menyehatkan jutaan rakyatnya jika tidak berbicara jumlah rumah sakitnya yang hanya sedikit? Calon pemimpin seperti ini seharusnya dipertanyakan kemampuannya oleh rakyat dan tidak untuk dipilih. Namun sebulan setelah acara debat tersebut, pasangan Aher-Deddy memenangkan pilgub Jawa Barat 2013. Jawa Barat memillih dipimpin oleh seseorang yang mengaku tidak biasa berbicara dengan angka.

Malangnya Angka dan Teori

Bertahun-tahun yang lalu, ada sebuah iklan di televisi tentang sampo anti ketombe. Dalam iklan itu ada seorang scientist berbicara mengenai penyebab ketombe. Beberapa detik kemudian seorang laki-laki datang dan menyeletuk, “Ah teori!” Iklan itu sangat terkenal dan hingga sekarang setiap ada orang mencoba menjelaskan sesuatu dengan teori, maka sering dibalas dengan ucapan yang sama: “Ah teori!”

Tak hanya angka yang selalu disepelekan di masyarakat kita, namun juga teori. Seakan angka dan teori adalah sebuah penemuan yang datang dari angan-angan saja. Seakan angka dan teori sebuah penemuan yang jauh dari fakta lapangan. Mereka seperti melupakan bahwa angka dan teori adalah hasil penelitian dari fakta-fakta lapangan. Mereka seperti tidak tahu bahwa para peneliti itu datang ke lapangan, mewawancarai atau mengamati objek penelitian, melakukan survey paling sedikit pada ribuan orang, melakukan tes uji coba, membandingan penemuan atau ilmu sebelumnya, mengeluarkan banyak biaya, dan menghabiskan banyak waktu hingga puluhan tahun. Namun mengapa kita menyepelekannya?

Perguruan tinggi di Indonesia sebenarnya memberlakukan kewajiban yang hebat kepada para mahasiswa S1-nya: membuat skripsi, melakukan penelitian. Dari pengalaman membuat skripsi, kita seharusnya lebih menghargai penelitian, berpengalaman menjadi penemu, terbiasa mengatasi masalah dengan berdasarkan teori dan data, atau terbiasa berargumen berdasarkan sumber yang terpercaya, bukan hoax. Namun sayangnya tidak.

Bangsa Pengekor

Kata ibu saya, bangsa yang unggul adalah bangsa yang masyarakatnya senang menemukan, suka menjadi penemu. Dan di jaman modern ini, penemuan itu dilakukan dengan penelitian. Bangsa yang jarang meneliti adalah bangsa pengekor. Bangsa yang hanya akan menjadi ekor bangsa lain. Menciptakan sesuatu dan mengatasi masalah hanya berdasarkan penemuan bangsa lain, bukan murni atas penemuannya sendiri. Dan Indonesia salah satunya. Bagaimana Indonesia dapat menjadi bangsa penemu dan mengatasi masalah negaranya apabila hanya mengekor penemuan dari bangsa lain? Padahal bangsa lain tidak selalu memiliki latar belakang dan masalah yang sama dengan kita.

Ada seorang dokter yang pernah mengeluh kepada saya karena kesulitan menyebuhkan pasiennya dengan obat-obatan yang ada, karena obat-obatan itu hanya cocok untuk pasien berdarah Caucasian, bukan Asian. Apa yang harus dilakukan si dokter jika belum ada penemuan obat khusus untuk pasien berdarah Asian? Apa boleh buat, ia tetap memberikan pasieannya obat yang tidak cocok. Entah sampai kapan kita harus menunggu para bangsa penemu menciptakan obat untuk kami yang berdarah Asian. Ini baru satu kasus mengenai satu obat. Bagaimana dengan kasus yang lain? Pasti banyak sekali dan kita hanya bisa menunggu?

Belajar dari Bangsa Penemu

Sebulan yang lalu saya dikenalkan teman pada seorang pria dari Australia bernama Anton Lucanus. Ia pernah menjalani pertukaran pelajar bidang biologi di UGM, lalu kursus singkat mengenai molekuler di Amerika Serikat. Setelah itu ia kembali ke Indonesia untuk menjadi peneliti magang di Lembaga Eijkman Jakarta. Ia nantinya menjadi peneliti kanker di Singapura.

Saat menjadi peneliti di Lembaga Eijkman Jakarta, ia menemukan bahwa lembaga ini memiliki banyak sekali data yang sangat penting namun tidak tersedia untuk umum. Termasuk data mengenai jumlah pengidap penyakit radang otak yang disebabkan nyamuk, Japanese Encephalitis, di Jawa Tengah. Hingga hasil pengujian penyakit Zika pertama di Indonesia. “Indonesia juga memiliki 122,000 perpustakaan, 7,000 universitas dan 10,000 jurnal akademik. Semuanya memproduksi ratusan hingga ribuan laporan, data, buku, dan artikel jurnal tiap tahunnya. Namun hanya 30% dari semua itu yang tersedia online,” kata Anton.

Mungkin karena dia terlalu banyak energi, Anton pun menciptakan Neliti, sebuah website mesin pencari hasil penelitian, data primer, dan fakta. Website ini bertujuan untuk mendigitalkan, mengurasi, dan menyebarkan hasil semua publikasi itu agar masyarakat Indonesia (khususnya lembaga penelitian dan universitas) dalam memproduksi penelitiannya. Website yang berawal dari gudang data dalam laboratorinya saja, kemudian menjadi sebuah website yang berkembang untuk umum, dan sekarang bekerja sama dengan 500 institusi lainnya. Neliti juga sudah didukung dan bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional Indonesia. Anton ingin Neliti dapat membantu Indonesia dalam membuat kebijakan atau mengatasi masalah ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.

Saat ini terdapat 915 jurnal dalam Neliti. Karena masih banyak sekali jurnal Indonesia yang memiliki kualitas rendah, maka satu persatu jurnal-jurnal itu dipilah oleh Anton dan dia bagi ke dalam tiga kelompok: Jurnal Internasional (Kualitas Terbaik), Jurnal Nasional (Kualitas Baik), dan Jurnal Tidak Terakreditasi (Kualitas Kurang Baik). Ya, satu persatu jurnal yang ada dipilah sesuai akreditasinya oleh Anton sendiri.

Tidak seperti EBSCO, JSTOR, Scopus, dkk, jurnal dan data di dalam Neliti dapat diakses dan di-download siapapun dengan gratis. “This is because we believe that information is a fundamental human right, and with free access to information comes opportunity for all people to innovate regardless of their background. We are free because we want to help Indonesia develop as a nation and mencerdaskan anak bangsa Indonesia,” kata Anton. So sweet.

Sementara itu, sekitar seminggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang pria Belanda bernama Frits Blessing. Selain melakukan bisnis di Maluku Indonesia, Frits juga membuat sebuah kerjasama antar universitas dan perusahaan dari Indonesia maupun Belanda bernama Living Lab Logistics.

Living Lab Logistics menghubungkan para mahasiswa, dosen, peneliti bidang logistic, dengan pemerintah dan perusahaan yang bergerak dalam bidang serupa. Ia menciptakan sebuah komunitas untuk membantu para peneliti untuk bekerja sama secara langsung dengan pemerintah dan perusahaan. Dengan demikian pembangunan sumber daya manusia antar Indonesia dan Belanda semakin pesat karena proses alih pengetahuan berjalan efektif dan mendalam. Nantinya bisa memacu inovasi, penemuan, dan mendukung perkembangan pendidikan di Indonesia. Apalagi selama ini banyak sekali penelitian yang tidak saling terhubung dengan peneliti lainnya, sehingga Living Lab Logistics dapat menjadi wadah agar semua peneliti bidang logistik dapat saling bertemu, belajar, bekerja sama, atau meneruskan apa yang sudah pernah dihasilkan.

Dari Anton maupun Frits kita belajar dua hal penting: apapun kesibukan kita, terus lah menjadi penemu dan menghargai segala proses penemuan di sekitar kita.

Indonesia Bangsa Penemu

Terlalu banyaknya sejarah buruk di Indonesia membuat kita berjalan lambat atau kadang berjalan di tempat. Kita menjadi sulit untuk bergerak, sulit untuk menjadi unggul, sulit untuk menciptakan dan menjadi penemu. Dari dijajah bangsa lain dan penguasa negeri di jaman penjajahan, dibungkam di jaman Orde Baru, hingga dibuat kebingungan di jaman peralihan ke negara demokrasi sejak reformasi 1998 hingga sekarang.

Namun saya tidak ragu, suatu saat nanti Indonesia menjadi bangsa penemu. Mungkin dalam waktu dekat, mungkin saja masih puluhan tahun lagi. Asalkan kita selalu berusaha menjadi penemu, menghargai penemuan dan prosesnya, serta kritis terhadap mereka yang tidak menghargainya.