Demi Tuhan, Jokowi, Itu Nyawa!

Tulisan ini saya tujukan kepada Bapak Presiden Joko Widodo, presiden pilihan sayaBanyak sekali pertanyaan yang ingin saya tanyakan terkait nilai-nilai Bapak terhadap hukuman mati. Dari banyaknya pertanyaan, satu pertanyaan yang paling mengganggu saya: mengapa Bapak begitu berani mengambil nyawa makhluk ciptaan Tuhan jika Bapak sendiri tidak bisa menciptakannya?

Besok Rabu, Mary Jane Veloso, perempuan asal Filipina yang Bapak tolak grasinya akan menjalani hukuman mati. Banyak yang mengatakan Mary Jane adalah korban sindikat perdagangan narkoba. Dikatakan pula ia hanyalah buruh migran Filipina yang ditipu dengan iming-iming pekerjaan palsu lalu dibekali heroin tanpa sepengetahuannya. Ia adalah korban, bukan pengedar narkoba, sehingga seharusnya kasusnya ditijau ulang dan tidak dihukum mati. Tetapi tidak menutup kemungkinan pula ia memang seorang pengedar narkoba. Ia berpura-pura sebagai buruh migran agar jika ditangkap, ia mendapat belas kasihan. Pertanyaannya, jika pun ia memang seorang pengedar narkoba, apakah hukuman mati adalah hukuman yang tepat dan harus segera dilakukan terhadapnya?

Sampai kapanpun pembunuhan yang direncanakan tidak akan pernah benar, Pak. Kepada siapapun itu. Sekali lagi, kepada siapapun itu. Baik orang yang merugikan hidup saya, merugikan hidup Bapak, atau merugikan bangsa kita. Pembunuh yang direcanakan tidak akan pernah benar. Karena demi Tuhan Pak Jokowi, itu nyawa. Itu nyawa ciptaan Tuhan. Itu nasib seseorang. Sehebat apapun saya, sehebat apapun Bapak, kita tidak akan pernah bisa menciptakan nyawa. Sehingga kita tidak pantas menentukan nasib hidup atau tidaknya seseorang.

Tetapi sepertinya sangat sulit bagi Bapak memahami nilai-nilai ini. Saya pahami karena keinginan Bapak menyelamatkan bangsa ini sungguh besar tak bisa dibendung. Hingga Bapak melupakan nilai-nilai dasar kemanusiaan, nilai-nilai dasar bangsa kita, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka saya ingin membagikan pandangan saya untuk membantu Bapak memandang hukuman mati dari sisi lain. Saya harap Bapak membacanya dengan hati yang damai.

Sengkon dan Karta

Apakah Bapak pernah menonton film Green Mile yang dimainkan oleh Tom Hanks? Dalam film itu, ada seorang pria kulit hitam yang dituduh membunuh 2 gadis desa. Ia pun dijatuhi hukuman mati. Sambil menunggu hari dieksekusi, ia menjalani hukuman penjara. Di dalam penjara itulah ia bertemu dengan narapidana lain yang ternyata pembunuh kedua gadis desa yang sebenarnya. Namun pria kulit hitam itu tetap dihukum mati. Walaupun hanya sebuah kisah dalam film, namun kisah tersebut membuat penonton sangat iba dan ingin marah. Ketidakadilan, bagi sebagian besar manusia, menganggu hati nurani. Lalu bagaimana dengan Bapak? Bagaimana jika kisah ini benar-benar terjadi di Indonesia, di negara tercinta yang Bapak pimpin ini? Apakah Bapak rela? Apakah Bapak akan marah dan terganggu nuraninya seperti kami?

Kenyataannya kisah film itu sungguh terjadi di Indonesia pada saat Bapak masih berumur 13 tahun, tepatnya pada tahun 1974. Dua orang bernama Sengkon dan Karta ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka sebuah perampokan dan pembuhan pasangan Sulaiman dan Siti Haiya. Namun keduanya tidak merasa melakukan tuduhan tersebut sehingga keduanya menolak mengakuinya. Karena terus menolak mengakuinya, keduanya disiksa oleh penyidik. Lantaran keduanya tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, mereka akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan tersebut. Pada tahun 1977, di pengadilan, hakim lebih mempercayai penyidik daripada bantahan Sengkon dan Karta. Sehingga Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta divonis 7 tahun penjara. Ada yang pernah mengatakan kepada saya, “jika sudah divonis artinya memang bersalah sehingga layak dihukum mati.” Kasus Sengkon dan Karta membuktikan keputusan salah atau tidaknya terdakwa di pengadilan tidak selalu benar.

Persis seperti di film Green Mile Pak, justru di dalam penjara kebenaran terungkap. Kedua orang yang tidak bersalah itu bertemu dengan narapidana lain bernama Genul. Di dalam penjara itulah Genul mengaku sebagai pembunuh pasangan Sulaiman dan Siti Haiya. Atas pengakuannya itu Genul dijatuhi hukuman penjara 12 tahun. Namun karena bobroknya sistem hukum kita Pak, baik Sengkon maupun Karta tetap mendekam di penjara. Beruntung ada seorang pengacara dan anggota dewan bernama Albert Hasibuan yang gigih memperjuangkan mereka. Akhirnya pada tahun 1981, setelah 5 tahun dipenjara, Sengkon dan Karta dibebaskan. 

Memang tidak persis seperti di film Green Mile dimana korban salah tangkap dijatuhi hukuman mati sementara Sengkon dan Karta dijatuhi hukuman penjara. Namun kehidupan mereka berdua sama saja mati. Setelah keluar dari penjara, kondisi kesehatan Sengkon terus menurun karena mengalami TBC. Tidak hanya itu, Sengkon juga masih sangat kesakitan karena terlalu banyak bekas luka akibat siksaan di dalam penjara. Ia pun tidak mampu bekerja menjadi petani kembali. Padahal kondisi perekonomian keluarganya semakin memburuk setelah ia ditangkap. Istrinya harus menjual tanah mereka untuk biaya hidupnya dan anak-anak mereka maupun untuk membiayai proses pengadilannya. Sama seperti Sengkon, Karta pun mengalami permasalahan ekonomi yang sangat memprihatinkan paska ia ditangkap. Beberapa lama setelah keluar dari penjara keduanya meninggal dunia. Karta mengalami kecelakaan, sementara Sengkon meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya.

Saya yakin Bapak mengetahui ada banyak kasus serupa di Indonesia dan Bapak sangat peduli akan hal ini. Banyak korban salah tangkap yang mengaku disiksa sangat kejam oleh penyidik dan dipaksa agar mereka mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Kemudian mereka harus menjalani hukuman yang sebenarnya tidak pantas mereka jalani. Banyak juga korban yang mengalami nasib serupa seperti korban kambing hitam, korban salah tangkap karena kesalahan penyelidikan, dll.

Lalu kenapa Bapak memberikan hukuman mati kepada seseorang berdasarkan hukum Indonesia yang masih sangat buruk ini? Kenapa Bapak menentukan nasib mati atau tidaknya seseorang berdasarkan sistem keadilan Indonesia yang sering menciptakan korban salah tangkap ini? Di negara yang sangat rawan ketidakadilan seperti Indonesia, bukankah menjadi sangat rawan pula bagi Bapak membunuh orang-orang tak bersalah? Bahkan di negara yang sangat adil sekalipun, hukuman mati tetap bukan tindakan yang benar. Pembunuhan yang direncanakan, kepada siapapun itu, tidak akan pernah benar.

Apalagi jika kasus Sengkon dan Karta teruang kembali pada mereka yang divonis mati sebagai pengedar narkoba. Bagaimana jika bertahun-tahun setelah eksekusinya baru terungkap mereka tidak bersalah? Apa yang akan Bapak lakukan jika mengetahui keputusan Bapak ternyata salah? Apakah Bapak bisa membuat mereka hidup kembali untuk memohon maaf kepada mereka? Bahkan mereka para korban salah tangkap yang hanya dihukum penjara saja tak pantas memaafkan pihak-pihak yang membuatnya tersiksa. Apalagi mereka yang sudah terlanjur dihukum mati, Pak. Apa yang akan Bapak lakukan?

Hukuman Mati Tidak Mengurangi Kejahatan

Saya sangat paham tujuan utama Bapak memberikan hukuman yang sangat berat kepada pengedar narkoba di Indonesia adalah untuk melindungi bangsa kita. Karena bagi Bapak, narkoba sangat merusak bangsa, terutama generasi muda penerus bangsa. Namun apakah hukuman mati akan mengurangi kejahatan? Tentu saja tidak.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melakukan riset dan menemukan kajian PBB antara tahun 1988-2002. Dalam kajian tersebut disimpulkan bahwa hukuman mati tidak memberikan pengaruh apapun terhadap tingkat kejahatan. Dalam riset KontraS ini dikatakan meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup.

Dengan demikian, jika menurut penelitian PBB hukuman mati tidak memberi pengaruh apapun terhadap tingkat kejahatan, lalu untuk apa Bapak terus memberikan hukuman mati kepada pengedar narkoba? Bahkan penelitian PBB tersebut justru menemukan bahwa tingginya tingkat kejahatan seperti narkoba, terorisme, dan lain-lain terjadi karena kemiskinan atau aparat negara yang korup. Sehingga bukankah lebih baik Bapak fokus pada soal kemiskinan dan juga serius menempatkan orang-orang bersih dan kompeten di jabatan penting negara? Tidak menempatkan tersangka korupsi di jabatan pemimpin polri misalnya.

Pengguna Bukan Korban

Saya pernah mendengarkan Bapak Jusuf Kalla mengatakan bahwa para pengedar narkoba telah membunuh bangsa sehingga layak dibunuh pula. Apakah Bapak juga berfikir demikian? Memang benar para pengedar narkoba adalah perusak generasi muda. Mereka seharusnya dihukum seberat-beratnya tanpa ampun karena telah menyebarkan obat terlarang.

Namun pengguna narkoba bukan korban, Pak. Karena bukankah sejak awal mereka memiliki pilihan untuk menolak tawaran si pengedar? Sehingga rusaknya generasi muda akibat narkoba tidak lantas menjadi 100% kesalahan para pengedarnya, tetapi juga kesalahan para penggunanya. Pengguna juga memiliki andil sebagai pembunuh dirinya sendiri.

Seseorang lebih pantas disebut korban jika ia tidak memiliki pilihan menolaknya. Seperti korban penculikan, korban pemerkosaan, korban penyiksaan, atau korban pembunuhan. Mereka tidak memiliki pilihan untuk menolak diculik, menolak diperkosa, menolak disiksa, atau menolak dibunuh. Berbeda dengan para pengguna narkoba, sejak awal mereka memiliki pilihan untuk tidak membeli narkoba dan mengkonsumsinya.

Namun apakah kemudian para penculik, pemerkosa, penyiksa, atau pembunuh menjadi layak untuk hukum mati? Tidak. Karena sekali lagi Pak, itu adalah nyawa. Sehebat apapun saya atau Bapak, kita tidak akan pernah bisa menciptakan nyawa. Hukuman terberat yang pantas diberikan kepada siapapun, baik pembunuh, pemerkosa, koruptor, atau pengedar narkoba adalah hukuman seberat-beratnya tanpa ampun, tanpa melukai apalagi membunuhnya.

Keamanan adalah Tugas Anda 

Jika alasan Bapak memberikan hukuman mati kepada para pengedar adalah untuk menghalangi mereka melakukan transaksi narkoba dari dalam penjara, maka artinya Bapak lari dari tugas. Buruknya sistem penjara kita tidak hanya kesalahan mafia narkoba, namun juga kesalahan pemerintah yang belum bisa memperbaikinya.

Bapak memiliki polri yang sedemikian hebatnya dan dana yang sedemikian berlimpahnya, maka lakukan sesuatu. Bersihkan polri, ciptakan sistem yang tidak memberikan ruang bagi mafia beraksi, hukum mereka yang melanggarnya. Jangan kemudian mengambil langkah membunuh para pengedar narkoba hanya karena Bapak tidak bisa menciptakan penjara yang lebih bersih. Itu tugas Bapak, maka lakukan tugas Bapak.

Bertanya Pada Hati Nurani

30 Juni 2014 lalu saya menulis surat terbuka untuk Tasniem Fauzia, putri dari Amien Rais. Di akhir surat tersebut saya meminta Mbak Tasniem untuk bertanya pada hati nuraninya yang terdalam dalam memilih calon presiden. Saya meminta kepadanya untuk lebih meresahkan 13 nasib kakak-kakak kita yang diduga hilang diculik atas komando Prabowo, daripada meresahkan Jakarta yang Anda tinggalkan.

Sekarang saya memohon kepada Bapak untuk lebih meresahkan nyawa ciptaan Tuhan yang mungkin tidak bersalah, daripada meresahkan para pengguna narkoba yang sejak awal memiliki pilihan untuk tidak mengkonsumsinya. Apalagi malah meresahkan adanya transaksi narkoba dari dalam penjara, karena sebenarnya itu adalah tugas Bapak dalam mencegahnya.

Saya sangat berterima kasih atas usaha Bapak dalam memerangi narkoba. Bapak adalah presiden pertama yang terlihat sangat serius dalam memeranginya. Namun saya mohon jangan dengan pembunuhan. Saya mohon lindungi nyawa-nyawa yang ada di tangan Bapak. Karena Bapak tidak bisa menciptakan nyawa. Hanya Tuhan yang bisa. 

Saya dan rakyat Indonesia menunggu keputusan baik Bapak terhadap Mary Jane di Hari Rabu nanti. Semoga Bapak selalu dalam lindungan Sang Pencipta. Amin.

Jakarta, Senin 27 April 2015

Dian Paramita

PS: mohon sedianya membaca juga petisi untuk Bapak disini change.orq/MaryJane