Mas Pandji, Ini Tidak Gampang

Notifikasi Path saya hari ini menyajikan Blast from the past alias foto-foto yang saya post pada masa lalu. Salah satu foto membuat saya kangen berat: berdiri di sebelah Mas Pandji Pragiwaksono, berdua tersenyum lebar, memiliki pandangan dan posisi politik yang sama. Di postingan itu dengan bangganya saya menulis,

Semua orang dicium tangannya kalo salaman sama Mas Pandji. Bikin geli. Dulu habis makan bareng kru Provocative Proactive, kita dianterin pulang ke rumah masing-masing. Dia juga selalu mengingatkan anak muda untuk nggak lupa sejarah, nggak buta politik. Kalo ngomong jelas, logis, pede, lucu, to the point, dan yang terpenting cerdas. It's my pleasure to know him. One of the best Indonesians!

Benar-benar tepat 3 tahun yang lalu saya post foto itu. Namun saya tidak menyangka 3 tahun kemudian saya menulis artikel yang berseberangan dengan Mas Pandji ini. Tentu saja saya tidak menginginkan semua orang memiliki pandangan politik yang sama dengan saya. Bangsa ini tidak akan maju jika hanya memiliki satu suara saja. Namun saat seseorang memiliki pandangan politik yang bertolak belakang dari pandangannya sebelumnya, ini yang sangat menggelisahkan saya.

Dahulu bersama-sama kami berada di posisi melawan Prabowo dan kelompok radikal seperti FPI agar tidak menguasai negri ini. Namun hari ini Mas Pandji berada di deretan mereka. Ini sama mengejutkannya jika misalkan Jonru tiba-tiba berada deretan kelompok nasionalis. Sama-sama akan mengecewakan teman-temannya. Sekali lagi, mengecewakan bukan karena berbeda, tetapi karena begitu bertolak belakang dari sebelumnya.

Banyak orang yang mengatakan Mas Pandji melakukan ini semua untuk uang. Saya tidak pernah bisa mempercayainya. Saya tidak percaya Mas Pandji semurahan itu. Namun saya masih tidak paham dan masih ingin berusaha paham: kenapa Mas Pandji berada di sana bersama Prabowo dan FPI?

Bukan kah mereka adalah kelompok yang tidak dapat ditolerir lagi? Saya tahu orang yang salah tidak selalu harus dimusuhi. Tapi juga bukan berarti merangkulnya, membuat mereka semakin besar kepala dan berjaya. Apakah bijak jika kita merangkul kelompok intoleran tanpa bersikap tegas kepada mereka? Apakah bijak berada di satu kubu dengan mereka dan memberikan jalan kepada mereka untuk menguasai negri ini?

Sulit untuk mempercayai Anies merangkul Prabowo dan FPI untuk mempersatukan bangsa, karena itu semua ia lakukan sebelum menjadi pemimpin. Bahkan sekali lagi, tanpa membuat pernyataan tegas bahwa ia tidak menolerir perbuatan mereka. Anies pun tidak terlihat merangkul kelompok lainnya, terutama minoritas. Maka salah kah saya jika berfikir sikap Anies merangkul mereka bukan untuk mempersatukan tetapi hanya untuk mendapatkan dukungan? Salah kah saya kecewa dengan sikap seorang Mas Pandji yang menolerir ini semua?

Apalagi saat saya membaca artikel Mas Pandji yang ini. Saya sangat resah. Dimana Mas Pandji yang saya kenal logis, lucu, to the point, dan cerdas? Dimana Mas Pandji yang selalu mengingatkan anak muda untuk nggak lupa sejarah, nggak buta politik? Kami semua disini sangat sedih, Mas. Kami semua kangen kamu. Tapi saya akan lebih sedih lagi kalau tidak memiliki kesempatan menjawab artikelmu. Semoga kita tidak bermusuhan setelah ini. Karena saya yakin dirimu bukan orang yang akan memusuhiku walau kita berseberangan.

Mari Bicara Anti Korupsi

Saya kaget membaca tulisan Mas Pandji itu. Terutama di bagian siapa saja yang mendukung Anies Baswedan dalam Pilkada DKI 2017 ini. Padahal saya yakin Mas Pandji tahu betul dengan istilah logical fallacy. Logical fallacy adalah sesat logika atau kecacatan dalam bernalar.

Mas Pandji mengatakan ada 4 orang mantan pimpinan KPK yang mendukung Anies dan tak ada satu pun yang mendukung Ahok. Lalu Mas Pandji memberikan kami pertanyaan “kritis yang sederhana”: Kalau memang Pak Basuki bersih dari korupsi, kenapa tidak ada satu pun mantan pimpinan KPK yang secara terbuka mendukung beliau?

Mas Pandji pasti pernah mendengar istilah logical fallacy tipe argumentum ad populum, yaitu sebuah sesat logika yang berfikir bahwa sebuah pendapat atau tindakan akan benar jika banyak yang menyakininya atau mendukungnya. Ya tentu saja sesat karena ini membuat orang yang sebenarnya tak bersalah menjadi diputuskan bersalah hanya karena kebanyakan orang menyebutnya salah. Atau membuat orang yang bersalah menjadi benar hanya karena kebanyakan orang mendukungnya.

Padahal ini bukan sebuah sidang dengan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini hanya sebuah pendapat atau tindakan yang dinilai sekelompok orang saja. Salah atau tidaknya seharusnya tidak bisa kita nilai hanya berdasarkan banyak-banyakan. Salah atau tidaknya hanya bisa kita nilai berdasarkan bukti dan saksi yang telah disumpah. Apa jadinya jika sesat logika seperti itu terus dipelihara? Orang seperti saya akan dibunuh jika berada di tengah para umat ekstrimis. Mereka merasa darah saya halal dan mereka merasa tindakan mereka benar karena banyak yang setuju saya dibunuh. Seram kan?

Jadi seharusnya kita bertanya: apakah jika Anies didukung 4 orang mantan pimpinan KPK membuatnya bersih? Apakah jika tidak ada yang mendukung Ahok membuatnya kotor? Tentu saja jawaban untuk keduanya adalah tidak. Bersih atau tidaknya seseorang tidak bisa dinilai dari banyaknya orang menghakiminya.

Mari Bicara Keteladanan

Saya lebih menghormati mereka yang berbicara kasar tapi untuk membela kebenaran daripada mereka yang berbicara santun tapi untuk merangkul yang salah. Lebih baik memaki-maki penjahat daripada berbicara halus tetapi mendukung kelompok intoleran. Ini yang terjadi pada Ahok dan Anies.

Ahok memang berkata kasar dan terkadang saya sendiri pun tidak tega melihat saat ia mendaprat seseorang habis-habisan. Tapi mari kita melihat sesuatu lebih dalam lagi, kepada siapa ia marah-marah? Tak satu pun saya pernah melihat ia marah-marah kepada mereka yang benar. Ia selalu marah-marah kepada mereka yang terbukti bersalah, apalagi mereka yang bersalah dalam bekerja melayani rakyat.

Mas Pandji bertanya, apakah kita boleh maki-maki orang hanya karena kita benar? Untuk menjawab itu, kita harus tahu apa dulu masalahnya? Jika hanya karena seseorang melakukan sesuatu kesalahan yang tidak disengaja, tentu tidak baik jika kita memakinya. Tetapi jika seseorang melakukan kesalahan dengan sengaja apalagi merugikan banyak orang, tentu saja orang itu layak untuk kita maki. Itu lah yang dilakukan Ahok. Ia tidak asal memaki semua orang karena dirinya merasa benar. Ia hanya memaki orang yang terbukti bersalah merugikan rakyat.

Apakah Ahok teladan yang baik? Tentu saja. Bangsa ini sudah lama dilanda rasa takut untuk bersuara, apalagi untuk melawan yang salah. Adanya tokoh-tokoh pemberani membuat kita bersemangat untuk tidak tinggal diam jika melihat ketidakadilan. Begitu senangya kita melihat Jokowi, Risma, Ganjar, maupun Ahok memarahi dan menindak para oknum yang jahat. Begitu bahagianya kita saat ada polisi yang dengan tegas tanpa rasa takut melawan kelompok radikal. Kita membutuhkan tokoh-tokoh yang dapat menunjukkan bahwa keberanian adalah bensin membela kebenaran. Tanpa keberanian kita tidak bisa melawan ketidakadilan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang membuat kita malu jika memilih tinggal diam karena takut melawan yang salah. Itulah yang disebut teladan.

Sementara Anies, ia memang sangat santun dalam berbicara. Tapi apakah isinya baik? Dahulu ia selalu membuat saya terharu dan bersemangat dari ucapannya. Saya ingat saat ia berpidato di UGM mengenai Indonesia Mengajar tahun 2013. Saat itu ia membuat saya bersemangat untuk berkontribusi lebih banyak lagi untuk negri ini. Saya juga ingat saat ia membela Jokowi di Mata Najwa tahun 2014. Saat itu Anies membuat saya semakin percaya diri melawan ketidakadilan Orde Baru karena dengan beraninya ia menyatakan sikap melawan Prabowo. Padahal saat itu tak satu pun tokoh besar berani melakukannya. Keduanya sangat inspiratif, karena cara berbicara maupun isinya baik untuk bangsa ini.

Hari ini Anies masih santun dalam berbicara. Ketawanya pun sangat halus dan sopan. Tapi bukan kah menilai seseorang tidak hanya dari penampilan namun juga isinya? Jadi bagaimana isi Anies? Mengecewakan. Lagi-lagi bak Jonru tiba-tiba jadi nasionalis, Anies tiba-tiba berpendapat yang bertolak belakang dengan pendapatnya dahulu. Tak hanya itu, ucapannya pun tak sesantun cara berbicaranya. Seperti saat ia bertamu di markas FPI Petamburan.

Seperti yang selalu Mas Pandji katakan, Anies adalah figur pemersatu bangsa. Tapi sekali lagi saya tanya, apakah merangkul kelompok intoleran tanpa bersikap tegas terhadap mereka adalah sikap mempersatukan? Jika ingin mempersatukan, dimana sikap Anies terhadap kelompok minoritas seperti umat nasrani atau keturunan Chinese?

Figur pemersatu juga seharusnya berkata yang adil kepada rakyatnya. Saya akan setuju Anies disebut figur pemersatu jika apa yang ia ucapkan dalam pertemuannya dengan FPI berbunyi,

Wahai Habib Rizieq dan kawan-kawan, Anda semua adalah saudaraku. Tapi Anda harus tahu bahwa umat agama lain juga saudaraku. Kalian memiliki hak yang sama dengan mereka dalam beribadah dan berpolitik. Maka hormatilah mereka dan saya juga akan memastikan mereka menghormatimu. Wahai Habib Rizieq, pastikan umatmu berlaku adil di negri ini. Saya akan berada di barisan terdepan jika Anda diperlakukan tidak adil. Namun saya lah yang akan pertama menindak Anda jika Anda bertindak melawan hukum.

Namun sayangnya tidak. Di depan FPI, Anies tidak mengajak FPI untuk berlaku adil dan menjaga persatuan. Justru pujian-pujian terhadap keturunan Arab lah yang ia katakan. Bukan kah itu akan membuat kelompok radikal seperti FPI semakin merasa benar untuk berlaku tidak adil terhadap ras dan agama lain? Tak hanya itu, isi pidato Anies mengenai sejarah keturunan Arab di Indonesia pun banyak yang luput tidak sesuai kenyataan sejarah. Seperti yang ditulis Mas Zen RS disini. Ya, hari itu ia menyebarkan sejarah yang salah dan membuat kaum radikal di Indonesia semakin besar kepala. Maka layak kah jika Anies disebut teladan yang baik? Layak kah disebut figur pemersatu?

Tadinya saya memang lebih menghormati mereka yang berbicara kasar tapi untuk membela kebenaran daripada mereka yang berbicara santun tapi untuk merangkul yang salah. Namun Ahok pernah berkata, “keduanya tidak ada yang lebih baik.” Jadi ia akan berusaha berubah agar lebih baik lagi. Sehingga nantinya ia tak hanya membela kebenaran namun juga santun dalam berucap.

Mari Bicara Kebijakan Reklamasi

Dalam tulisan Mas Pandji, ada link yang menulis mengenai Kronologi Reklamasi Teluk Jakarta. Dalam kronologi tersebut disebutkan bagaimana berbagai peraturan bermunculan sampai akhirnya diteruskan oleh Ahok. Mas Pandji tau bagaimana selama ini saya selalu berusaha melawan penyiksaan terhadap binatang dan perusakan lingkungan. Namun bagaimana posisi saya menanggapi reklamasi yang akan merusak lingkungan hidup daerah Jakarta Utara tersebut?

Pertama, reklamasi jelas merusak lingkungan, tapi apa yang bisa kita lakukan melawan keputusan presiden? Satu yang perlu selalu kita ingat: bukan Ahok yang memulai rencana ini, tetapi Soeharto dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Sejak 1995 hingga sekarang rencana reklamasi ini terus bergulir. Ada nama SBY, Sutiyoso dan Fauzi Bowo ikut terlibat dalam perjalanan izin reklamasi, sampai akhirnya berada di tangan Ahok.

Mas Pandji berargumen seakan semua pengembang itu ada setelah Ahok menjabat. Padahal pengembang itu ada sejak zaman gubernur sebelumnya. Mas Pandji menyebutkan, pulau A,B, C, D, dan E adalah milik PT. Kapuk Naga Indah, satu grup dengan Agung Sedayu. Ya memang benar. Tapi sekali lagi mereka ada bukan sejak Ahok. Dalam link yang Mas Pandji share, nama PT Kapuk Naga Indah dalam reklamasi sudah ada sejak Fauzi Bowo menjabat tahun 2010. Jadi mari bersikap adil dengan tidak menujuk Ahok sebagai biang keladi yang berpihak kepada pengembang.

Selain itu, disebutkan bahwa reklamasi memang menjadi wewenang Gubernur DKI. Tapi sampai dimanakah wewenangnya? Apakah Gubernur DKI berwewenang untuk menghentikannya secara permanen? Apakah seorang gubernur dapat melawan surat keputusan presiden? Reklamasi memang menjadi wewenang Gubernur DKI namun bukan kah hanya sampai pada urusan perizinan, bukan penghentian proyek?

Seperti kata Mas Pandji, baca baik-baik di tanggal 12 Desember 2013 sampai 23 Dessember 2014. Saya setuju, mari kita baca dengan baik-baik. Karena jika tidak, kita akan dengan mudah menyangka Jokowi tidak memperpanjang izin reklamasi dan menghentikannya, sementara Ahok memperpanjang izin reklamasi dan memulai bencana. Padahal dalam artikel itu, ada suatu link berita menyebutkan alasan Jokowi tidak memperpanjang reklamasi.

Kompas: Dia (Jokowi) ingin melakukan kajian mendalam terlebih dahulu soal megaproyek itu. Sebab, di atas pulau buatan itu, rencananya akan ada 500.000 tenaga kerja, 1 miliar meter kubik air bersih, serta sejumlah infrastruktur seperti bandar udara dan pelabuhan yang baru. Artinya, ia ingin proyek berpihak kepada rakyat, bukan developer. "Karena Pemprov DKI juga mau investasi di sana, sebagian itu akan jadi milik kita sehingga sedang kita kaji dulu semua," ujarnya (Jokowi).

Jokowi menyebutkan bahwa Pemprov DKI akan berinvestasi disana dan sebagian akan jadi milik kita. Akan? Berarti bagi Jokowi, reklamasi memang akan tetap terlaksana? Bahkan Jokowi menyebutkan rencananaya akan ada ribuan tenaga kerja dan infrastruktur. Rencananya? Ya memang reklamasi ini sudah direncanakan akan terus berlanjut. Tetapi perlu dikaji ulang sehingga untuk sementara izinnya tidak diperpanjang. Jika sudah dikaji, maka reklamasi berlanjut. Asalkan satu: hasil kajian berpihak kepada rakyat, bukan developer.

Nah sekarang, kepada siapakah Pemprov DKI berpihak? Kepada siapakah Ahok berpihak? Dalam artikel kronologi tersebut juga menyertakan link keputusan Ahok dalam reklamasi tahun 2014. Kita semua dapat membaca, dalam keputusan itu Gubernur DKI meminta kewajiban dan kontribusi pengembang sebagai berikut:

Kewajiban

  1. Menyediakan prasarana, sarana dan utilitas dasar yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan Pantura antara lain jaringan jalan baik dalam maupun antar pulau, angkutan umum massal, jaringan utilitas, infrastruktur pengendali banjir, Ruang Terbuka Biru, Ruang Terbuka Hijau, dan sempadan pantai, serta sarana pengelolaan limbah cair dan padat
  2. Pengerukan sedimentasi sungai sekitar pulau reklamasi.

Kontribusi

  1. Memberikan kontribusi berupa pengerukan sedimentasi sungai di daratan
  2. Memberikan kontribusi lahan seluas 5% (lima persen) dari total luas lahan areal reklamasi nett yang tidak termasuk peruntukan fasos/fasum untuk diserahkan kepada Pemerintah Provinsi OKI Jakarta.

Dan ada tambahan kontribusi untuk revitalisasi Kawasan Utara Jakarta berupa penyediaan rumah susun, penataan kawasan, peningkatan dan pembangunan jalan, pembangunan infrastruktur banjir termasuk pompa dan rumah pompa, waduk, saluran dan pembangunan tanggul Program NCICD Tahap A, yang besarannya sesuai nilai yang akan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Jika sudah membaca keputusan izin reklamasi oleh Ahok di atas, sekali lagi saya tanyakan, kepada siapakah ia berpihak? Pengembang atau DKI Jakarta? Karena tak dapat menghentikan reklamasi, maka Jokowi dan Ahok berinisiatif untuk membuat reklamasi itu berpihak kepada negara, kepada rakyat. Dengan membebankan pengembang dengan berbagai kewajiban dan kontribusi yang bermanfaat untuk DKI Jakarta.

Namun jika memang Anies dan Mas Pandji tidak setuju dengan reklamasi, seharusnya apa yang dilakukan seorang gubernur DKI terhadap keputusan presiden itu? Bagaimana cara menghentikannya? Pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan Ahok dalam debat terakhir, namun sayang, Anies tak menjawabnya.

Mari Bicara Penggusuran

Mas Pandji menyebutkan mengenai sidang penggusuran Bukit Duri yang dimenangkan warganya. Lagi-lagi argumen Mas Pandji menyiratkan Ahok bersalah. Dalam hal ini bersalah dalam mengambil lahan tanah milik warga Bukit Duri. Padahal ada dua hal yang harus diluruskan. Pertama, penggusuran atau normalisasi Kali Ciliwung di daerah Bukit Duri adalah proyek Pemerintah Pusat. Bukan proyek Pemprov DKI, bukan proyek Ahok. Posisi Pemprov DKI disini hanya sebagai pelaksana.

Kedua, sidang yang Mas Pandji sebutkan adalah sidang PTUN, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara. Tak banyak yang tahu bahwa PTUN itu berbeda dengan Pengadilan Negri. Sesuai dengan namanya, sidang PTUN berarti sidang terkait prosedur atau administrasi. Dalam pelaksanaan penggusuran warga di Bukit Duri, Satpol PP melakukan kekeliruan yang kemudian dituntut warga dan dikabulkan PTUN. Jika warga Bukit Duri memenangkan sidang PTUN, maka mereka menang dalam hal prosedur penggusuran, bukan dalam hal hak tanah. Maka dari itu Pemprov DKI masih melanjutkan penggusurannya. Bahkan putusan PTUN itu pun belum berkekuatan hukum tetap sehingga Pemprov DKI belum tentu bersalah.

Saya jadi penasaran, kenapa penggusuran selalu dianggap tidak adil? Jika prosedurnya merugikan dan terjadi kekerasan, saya setuju itu tidak adil. Tetapi jika memang warga menempati tanah ilegal, bukan kah tidak adil jika membiarkannya?

Beberapa bulan lalu saya berkesempatan ke daerah bekas pasar ikan, depan Museum Bahari. Daerah di depan museum itu sudah rata dengan tanah. Tidak seperti sebelumnya yang penuh bangunan kumuh. Sekarang hanya penuh sisa-sisa sampah berserakan. Saat itu lah saya baru tahu bahwa para mantan penghuni rumah kumuh disana sebenarnya membangun rumahnya bukan di atas tanah melainkan di atas sampah. Daratan tempat mereka tinggal sebenarnya sebuah sungai yang luas. Namun zaman dahulu para warga menguruknya dengan sampah lalu menempatinya untuk tempat tinggal dan pasar. Jadi mereka tidak hanya tinggal di tanah ilegal, tapi bahkan literally mereka tidak tinggal di atas tanah. Lalu kenapa bertahun-tahun pemerintah membiarkannya? Bahkan memberikan mereka surat tanah legal, aliran listrik, dan ledeng? Bukan kah ini menyalahi aturan dan patut untuk diadili?

Saya justru melihat keputusan pemerintah memberikan rusun kepada mereka yang dahulu menempati tanah ilegal adalah keputusan yang tidak adil. Bayangkan dahulu kala ada 2 orang yang tidak memiliki uang untuk membeli tanah. Satu orang (si A) memilih membangun bangunan liar di tanah ilegal, namun satu lagi (si B) memilih untuk idealis dengan pulang ke daerah asalnya untuk menaati peraturan. Setelah bertahun-tahun, si A justru dipindahkan ke rusun yang layak dan mendapatkan sewa murah, sementara si B gigit jari iri dan berfikir, "kenapa dahulu aku tidak menyalahi aturan saja dan bisa mendapatkan rusun sewa murah?" Ini seperti memberikan reward kepada mereka yang salah dan membuat mereka yang menaati peraturan menyesali keputusan baiknya. Namun saya paham, pemerintah tak mungkin menggusur warganya tanpa memberikan alternatif tempat tinggal sehingga pemberian rusun pun harus dilakukan.

Dengan melihat masalah ini dengan lebih luas, menurut Mas Pandji, apa yang seharusnya dilakukan seorang gubernur melihat banyak warganya tinggal di atas tanah ilegal? Program apa yang akan dilakukan Anies untuk memperbaiki tata kota, menanggulangi banjir, dan meningkatkan hajat hidup warganya secara bersamaan?

Mari Bicara Program Anies

Mas Pandji menjelaskan dengan detail dan mudah dipahami mengenai program kerja Anies dalam bidang tempat tinggal, pendidikan, dan wirausaha. Sayangnya itu semua tidak dijelaskan dengan detail dan mudah dipahami oleh Anies sendiri. Berkali-kali kami bertanya, ya Bapak akan melakukan perubahan tapi bagaimana caranya, Pak? Tapi saya tak pernah mendapatkan jawabannya. Seperti kami tak mendapatkan jawaban mengenai apa yang akan Anies lakukan terkait reklamasi dan penggusuran.

Selain itu, butuh kehati-hatian dalam memahami program kerja Anies. DP 0 Rupiah untuk kredit murah bagi warga Jakarta misalnya. Pertama, mungkin banyak yang mengira kata “rumah” berarti rumah satu atap. Namun dalam program ini, yang dimaksud “rumah” adalah “rumah susun” sederhana subsidi pemerintah dengan harga sekitar Rp350 juta. Kedua, warga diharuskan menabung 2,3 juta per bulan selama 6 bulan terlebih dahulu agar bisa ikut dalam program ini. Kemudian warga harus mencicil Rp2,3 juta per bulannya selama 20 tahun. Sewa Rusunawa yang hanya Rp300 ribu per bulan saja banyak warga yang menunggak. Bagaimana jika harus membayar cicilan sebesar Rp2,3 juta per bulan selama 20 tahun? Ketiga, jika di tengah jalan warga tak mampu membayar cicilan, apa yang akan dilakukan Anies? Masak iya menggusurnya? Keempat, warga harus bisa memiliki uang sebesar Rp13,8 juta dalam 6 bulan untuk kemudian mulai mencicil rumah susun tersebut selama 20 tahun. Lalu apa bedanya Rp13,8 juta itu dengan DP?

Mas Pandji juga mengatakan “Anies yang paling tau tentang pendidikan”. Tapi kata siapa? Karena jika memang ia paling tau, kenapa justru dia diberhentikan dari kursi Menteri Pendidikan? Apakah karena politik sehingga orang bersih tidak bisa bertahan di kursi jabatan? Lalu kenapa Ibu Susi dan Ibu Sri yang terkenal bersih dan pekerja keras masih ada di kursi menteri? Kenapa Anies dan Sudirman Said diberhentikan?

Lagi-lagi Mas Pandji juga membuat argumen dengan memberikan informasi yang salah dan menuntun para pembacanya untuk menghakimi bahwa Ahok melakukan kesalahan. Seperti saat Mas Pandji memberikan link ini: keluhan Pak Basuki mengenai KJP yang sering disalah gunakan. Dalam artikel itu Ahok mengeluhkan soal banyaknya dana pendidikan yang disalahgunakan warga untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti karaoke. Namun artikel tersebut adalah artikel tahun 2015. Sudah dua tahun yang lalu. Bagaimana Pemprov DKI di bawah kekuasaan Ahok menyiasatinya tahun ini? KJP tidak boleh lagi ada yang tunai. Semua harus non-tunai sehingga warga tak memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya. Jadi apa yang diresahkan Mas Pandji sebenarnya sudah dibereskan Ahok.

Sementara apa solusi Anies dalam masalah penyalahgunaan dana pendidikan ini? Anies akan membagi periode turun uangnya setiap tahun ajaran baru. Sehingga uangnya turun tepat ketika kebutuhan akan pendidikan sedang mendesak. Tapi pertanyaannya, bagaimana jika ada kebutuhan lain yang lebih mendesak dari pendidikan, seperti misalnya makan? Bagaimana pula jika orang tua siswa tidak peduli dengan pendidikan anaknya dan lebih memilih memakai uangnya untuk kebutuhan lain? Dengan solusi dari Anies ini, penyalahgunaan dana pendidikan tetap akan terjadi karena warga tetap memiliki kuasa atas uang tunainya.

Lain lagi dengan program Anies soal wirausaha, OKE OCE. Ada beberapa masalah. Seperti Anies menjanjikan bantuan berupa modal untuk warganya yang ingin berwirausaha. Masalahnya, siapa yang akan mendapatkan modal dan bagaimana mekanisme seleksinya? Anies juga menjanjikan bimbingan wirausaha. Tetapi siapa yang akan memberikan bimbingan? Terakhir, Anies menjanjikan bantuan pemasaran. Tetapi bagaimana bentuknya? Apa bedanya jika kita menjual dagangan di platform jualan online seperti Jualo.com, Tokopedia, Bukalapak, dan Lazada?

Saya khawatir pemilih Anies hanya terpesona dengan janji-janji program yang begitu fantastis namun pada kenyataannya tidak lebih baik dari program Pemprov DKI saat ini. Mas Pandji, kita bukan sedang adu gengsi dan menang-menangan siapa yang benar kan? Kita sedang berdiskusi siapa kah calon pemimpin yang betul-betul dapat membangun warganya kan? Jika memang demikian, apakah bijak menjanjikan program kerja yang sebenarnya tidak lebih baik dari yang sekarang?

Mari Tidak Hanya Bicara

Saya tidak pernah setuju bahwa seseorang yang berbicara juga harus mampu bekerja. Seakan semua orang harus berperan sebagai pelaksana. Padahal setiap orang memiliki kemampuan dan peran masing-masing. Ada yang sangat cerdas, memiliki banyak gagasan, mampu membuat rencana yang hebat, tapi tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakannya. Atau bahkan mereka hanya mampu beridato inspiratif, membuat orang lain semangat bekerja, seperti Mario Teguh. Apakah dia salah? Tidak. Karena peran dia adalah menciptakan gagasan, inovasi, rencana, atau sekedar menciptakan rasa nyaman. Di sisi lain, ada orang tak memiliki ide, tak mampu membuat rencana, ucapannya tidak menyenangkan, tapi ia mampu menjadi pelaksana yang cekatan dan tersruktur. Apakah dia salah? Tidak juga. Karena peran dia adalah pelaksana.

Menurut saya Anies adalah tipe pertama. Ucapannya menyejukkan dan membuat pendengarnya bersemangat. Tetapi ia tidak terbukti mampu melaksanakan tugas. Justru hasil kerjanya patut dipertanyakan karena telah diberhentikan dari kursi menteri. Bahkan anak buahnya pun mengeluhkan kinerjanya.

Bagaimana dengan Ahok? Ahok adalah tipe pertama. Ia mampu menciptakan gagasan-gagasan baru yang bermanfaat bagi rakyat. Seperti bagaimana caranya menanggulangi banjir hingga bagaimana caranya membangun infrastruktur tanpa mengurangi dana pemerintah agar dana pemerintah terfokus dalam subsidi untuk warganya. Tapi Ahok juga masuk pada tipe kedua. Ia mampu melaksanakan gagasan dan rencana yang dibuatnya. Beberapa sudah dapat dinikmati dan beberapa masih dikerjakan. Dari titik banjir sudah berkurang hingga infrastruktur seperti trotoar pun bisa ia bangun dengan dana dari swasta.

Tak hanya memiliki gagasan dan mampu melaksanakannya, Ahok juga mampu mendengarkan. Setiap harinya ia membuka pintu untuk semua orang yang ingin mengeluhkan masalahnya kepadanya. Bahkan karena kasihan, Ahok menyediakan kursi-kursi di balkon Balaikota agar warga dapat duduk sambil menunggunya datang. Saya pernah bertanya kepada Ahok saat berkesempatan membuntutinya seharian, kenapa pada zamannya Balaikota dibuka untuk umum? Ia menjawab,

Saya kira saya kan pegawai, ini rumah rakyat. Kita pegawai ya harus kasih lah. Kayak ini, surat semua yang masuk, saya mau baca semua. Saya harus ngerti. Mau surat tembusan saya juga mau tau. Duduk disini membaca ini semua laporan, jadi mengerti.

Jadi Mas Pandji, pemimpin bekerja tidak hanya lewat bicara, namun juga lewat kemampuannya mendengarkan, memahami masalah, menciptakan program kerja dan melaksanakannya. Apakah Anies mampu melakukannya? Apa bukti ia mampu melakukannya?

Mas Pandji Tak Perlu Khawatir

Pernah kah Mas Pandji mendengar ucapan Ahok ini?

Kalo saya tidak terpilih lagi, jangan khawatir. Jabatan saya berakhir Oktober 2017 kok. Jadi sisa satu tahun ini percayakan pada saya saja. Saya kerjanya cepet kok. Nggak ada saya pun nggak usah khawatir. Saya sudah bikin peraturan, siapa pun yang jadi gubernur, asalkan jujur dan kerja nyata tidak nyolong, pasti lancar. Maka jika ada yang lebih nyata dari saya, lebih rajin, lebih hebat, pilih dia saja.

Itu adalah ucapan Ahok di depan warga DKI tahun 2016 lalu sebelum ia cuti bekerja. Jika memang Mas Pandji tidak berkenan Ahok meneruskan pekerjaannya, maka tak perlu khawatir. Ia sudah pasrah dan menyerahkan semua itu kepada Mas Pandji dan warga Jakarta lainnya. Ia pun berjanji akan menggunakan sisa masa kerjanya dengan sebaik mungkin dan bekerja dengan secepat mungkin. Ia juga memastikan telah membuat peraturan agar siapapun gubernur yang warga Jakarta percayakan setelahnya akan bekerja dengan lancar. Asalkan gubernur setelahnya bekerja nyata dan tidak nyolong.

Sekali lagi Mas Pandji tak perlu khawatir. Silakan pilih pemimpin yang pandai berbicara atau pemimpin yang menjanjikan relokasi yang tidak melanggar HAM. Silakan. Namun dengan satu syarat sederhana: jika memang pilihan Mas Pandji lebih baik dari Ahok dalam merawat Jakarta dan manusianya. Kalau dari merunut pendapatnya, mengingat tindakannya, melihat rekam jejaknya dalam bekerja, dan memahami programnya, apakah Anies lebih baik dari Ahok?

Mas Pandji, Ini Tidak Gampang

Menulis artikel ini tidak sederhana, Mas. Banyak data dan informasi yang harus saya cek ulang. Mungkin saya juga luput. Mohon dikoreksi ya, Mas.

Menulis artikel ini sulit, Mas. Saya takut. Takut jika saya salah berucap sehingga menyakiti hatimu dan takut kita akan bermusuhan. Tapi saya lebih takut lagi jika para pembacamu mengamini semua argumenmu dengan mentah-mentah tanpa tau apa saja yang luput dan memahami masalah dengan lebih detail. Maka saya putuskan untuk menulsi artikel ini dan menyebarkannya.

Menulis artikel ini tidak gampang, Mas. Apalagi kali ini aku harus berseberangan dengan orang yang sangat aku sayangi.